REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono memprediksi neraca dagang Mei akan kembali mengalami defisit. Tapi, ia berharap, kondisinya tidak akan separah April yang mengalami defisit hingga 2,5 miliar dolar AS.
Susiwijono menjelaskan, defisit pada bulan Mei dikarenakan kondisi ekspor yang masih terhambat akibat kondisi perekonomian global. Perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan Cina menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara yang berdampak pada penurunan permintaan terhadap komoditas dari Indonesia. "Kerja ekspor akan tetap berat," ujarnya ketika ditemui di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (23/5).
Di sisi lain, Susiwijono menambahkan, harga komoditas di pasar global juga masih melemah. Salah satunya adalah harga gas alam yang berdampak pada penurunan nilai ekspor migas. Dari yang biasanya di atas 1,1 miliar dolar AS tiap bulan, kini menjadi 700 juta dolar AS.
Susiwijono memprediksi, angka tersebut dapat lebih rendah lagi pada tahun ini. Oleh karena itu, untuk migas, kemungkinan besar masih akan mengalami defisit cukup besar.
Kondisi tersebut diperparah dengan ekspor crude oil atau minyak mentah yang akan turun seiring dengan kebijakan baru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kebijakan tersebut berisikan optimalisasi hasil eksplorasi dalam negeri untuk kebutuhan domestik yang dialihkan dari tujuan ekspor.
Susiwijono menambahkan, kondisi ekspor tersebut akan dikombinasikan dengan tren impor yang biasa tinggi pada saat jelang Lebaran. Pada tahun ini, kombinasi tersebut terjadi pada April dan Mei.
"Makanya, menurut hitung-hitungan kita itu masih defisit," ucapnya.
Dalam mengantisipasi defisit yang semakin melebar, Susiwijono mengatakan, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya. Terbaru, melalui kebijakan ESDM mengenai pemanfaatan minyak mentah untuk diolah di dalam negeri. Selain itu, optimalisasi B20 yang akan diarahkan menjadi B30 pada tahun depan.
Di samping itu, pemerintah mendorong Pertamina untuk memperbesar investasi di luar negeri. Tapi, Susiwijono mengakui, dampak kebijakan terakhir baru akan terlihat pada hitungan lima tahun mendatang. "Sebab, eksplorasi butuh waktu," ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira juga memproyeksikan defisit pada neraca dagang pada Mei. Sebab, impor menjelang Lebaran akan lebih tinggi dibanding dengan bulan-bulan lain. Bahkan, menurutnya, defisit masih akan terus berlanjut hingga Juni, tepatnya setelah Lebaran.
Selain tingginya impor, Bhima menambahkan, defisit juga disebabkan perlambatan ekonomi global. Kondisi tersebut menyebabkan tingkat permintaan terhadap komoditas bahan baku dan bahan mentah Indonesia menurun. "Harga komoditas unggulan seperti CPO juga masih turun," ujarnya.