REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Menteri Pertahanan Turki Hulusi Akar mengatakan negaranya sedang mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan sanksi Amerika Serikat (AS) karena membeli sistem rudal S-400 dari Rusia. Dia kembali menegaskan bahwa pembelian sistem rudal tersebut merupakan kebutuhan pertahanan negaranya.
Akar menjelaskan, meskipun membeli sistem rudal S-400, negaranya tetap melanjutkan kerja sama pertahanan dengan AS. Dalam konteks tersebut, Ankara masih melaksanakan tanggung jawabnya dalam proyek F-35 dan berharap program tersebut berlanjut seperti yang direncanakan.
“Kami melakukan mandat perjanjian bilateral normal apa pun. Meskipun ada beberapa masalah dari waktu ke waktu, kami senang bahwa tidak ada perubahan tujuan sampai sekarang. Turki juga membuat persiapan untuk kemungkinan penerapan sanksi CAATSA (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act),” katanya pada Rabu (22/5).
Dia mengatakan, dalam perjanjian proyek pesawat F-35, tak ada ketentuan yang melarang pembelian sistem rudal S-400 milik Rusia. “Tidak ada klausa di mana pun dalam perjanjian F-35 yang menyebut seseorang akan dikeluarkan dari kemitraan karena membeli S-400. Turki telah membayar 1,2 miliar dolar AS, kami juga memproduksi suku cadang yang dipesan dari kami tepat waktu. Apa lagi yang bisa kami lakukan sebagai mitra?” ucapnya.
Keputusan Turki membeli S-400 telah membuat cemas dan gusar AS. Washington menilai langkah tersebut dapat membahayakan keamanan pesawat F-35 yang dibuat Lockheed Martin Corp. AS kemudian mengancam menjatuhkan sanksi ke Turki melalui CAATSA.
Kendati diancam, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan tak akan membatalkan kesepakatan pembelian S-400 dengan Rusia. Sebab, menurutnya kehadiran peralatan itu penting untuk keamanan negaranya.
"Kami akan mengambil langkah-langkah untuk mengeringkan rawa terorisme di Suriah dan akan melanjutkan pembelian S-400 serta bala bantuan keamanan serupa," ujar Erdogan pada akhir April lalu. Turki dilaporkan akan menerima S-400 pada Juli mendatang.