Jumat 24 May 2019 06:19 WIB

Pertumbuhan Ekonomi 5,6 Persen pada 2020 Sulit Tercapai

Momentum mendorong konsumsi semakin menipis seiring ekonomi global yang melambat

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Aktivitas ekspor impor
Foto: Republika/Prayogi
Aktivitas ekspor impor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Direktur Institute for Developmet of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, target pertumbuhan ekonomi 5,3 hingga 5,6 persen pada 2020 sulit tercapai. Sebab, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih bertumpu pada laju konsumsi dengan pertumbuhan 4,9 sampai 5,2 persen. Sedangkan, momentum mendorong konsumsi semakin menipis seiring dengan perekonomian global yang melambat akibat perang dagang dan sejumlah aspek geopolitik.

Terlebih lagi, dalam skenario pertumbuhan di 2020 tersebut, asumsi laju impor ditargetkan hampir setara dengan laju ekspor. Sedangakn, pada 2018, laju impor hampir dua kali lipat laju ekspor Indonesia. "Ini jelas tidak mudah," ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Kamis (23/5).

Baca Juga

Dari sisi target investasi, Eko menilai, skenario pertumbuhan 2020 adalah pemerintah menghendaki Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mampu tumbuh 7,0 sampai 7,4 persen, Sedangkan, selama era Presiden Jokowi, lajunya belum mampu tumbuh hingga 7 persen.

Eko menilai, target tersebut akan memberatkan tim ekonomi pemerintahan nantinya. Sebab, target peningkatan investasi di tengah kondisi ekonomi global yang melambat tidak akan mudah untuk direalisasikan.

Dari sisi sektoral, Eko menilai, laju sektor industri pengolahan 5,0 samapi 5,5 persen pada 2020 juga akan menjadi tantangan. Sepanjang 2018, industri pengolahan tumbuh flat di 4,3 persen. Untuk dapat bertahan di angkat tersebut saja mungkin cukup berat karena kuartal pertama 2019 hanya tumbuh 3,86 persen. 

"Badai perang dagang  AS-Cina dapat menjadi batu sandungan berkelanjutan bagi laju industri pengolahan," katanya.

Untuk asumsi makro pada Rancangan APBN 2020, Eko melihatnya masih realistis. Di antaranya asumsi nilai tukar sebesar Rp 14.000 sampai Rp 15.000 per dolar AS. Menurut Eko, asumsi tersebut realistis, artinya masih dalam range yang optimis dapat dicapai oleh Bank Indonesia (BI).

Hanya saja, tantangan agar target kurs nilai tukar Rupiah ini dapat tercapai akan muncul dari neraca transaksi berjalan yang memiliki defisit kecenderungan melebar. Di samping itu, aspek hot money yang mengalami peningkatan dalam perekonomian Indonesia juga perlu diwaspadai. "Sebab, sangat sensitif terhadap isu geo politik dan keamanan," ucapnya.

Harga minyak mentah Indonesia yang diasumsikan sebesar 60 dolar AS sampai 70 dolar AS per barel juga dinilai Eko sebagai angka realistis. Pasalnya, saat ini, harga minyak bergerak dalam range tersebut.

Namun, Eko mengingatkan, aspek geopolitik negara-negara produsen minyak mentah tetap penting diperhatikan. Sebab, dinamika harga minyak tidak selalu berelasi dengan demand dan supply, bahkan kerap kali lebih dipengaruhi faktor politik.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement