Jumat 24 May 2019 17:47 WIB

Warisan Islam di Alexandria

Alexandria atau disebut Iskandariyah oleh orang Mesir.

Suasana kawasan Benteng Qaitbay yang terletak di tepi laut Mediterania, Kota Alexandria, Mesir.   (Republika/Agung Supriyanto)
Suasana kawasan Benteng Qaitbay yang terletak di tepi laut Mediterania, Kota Alexandria, Mesir. (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Alexandria, sebuah nama yang cantik. Sesuai namanya, kota di pesisir utara Mesir ini memang sangat cantik. Disebut Iskandariyah oleh orang Mesir, kota ini berhadapan langsung dengan birunya Laut Mediterania. Bibir pantainya dihiasi hamparan pasir putih kekuningan, khas padang pasir Timur Tengah, berbaur dengan bebatuan yang menonjol di sana-sini.

Dari sisi usia, Alexandria tergolong kota tua. Ia dibangun oleh Alexander the Great (Alexander Agung), penguasa Kekaisaran Makedonia, sebuah negeri di timur laut Yunani. Pada masa jayanya, Alexander berhasil memimpin ke kaisaran terbesar pada masa sejarah kuno, yang membentang mulai dari Laut Ionia sampai pegunungan Himalaya. Ketika menaklukkan Mesir, ia membangun Alexandria dan menjadikannya sebagai ibu kota kekaisaran.

Sejarah mencatat, Alexander the Great membangun kota ini pada 332 SM dengan men datangkan sejumlah arsitek dari Yunani. Tak heran, ‘cita rasa’ Romawi sangat terasa di Alexandria. Hal itu tampak pada berbagai bangunan peninggalannya, seperti gedung teater tempat adu gladiator yang merupakan tiruan Colloseum di Italia.

Saat ini, kota terbesar kedua di Mesir tersebut dihuni oleh sekitar empat juta orang. Selain menjadi saksi masuknya peradaban Romawi, Alexandria juga merupakan saksi sejarah hadirnya peradaban Islam di kawasan ini. Tak heran, Alexandria memiliki banyak peninggalan bersejarah, yang beberapa di antaranya masih bisa disaksikan hingga saat ini. n 

Masjid al-Abbas al-Mursi 

Inilah masjid terindah dan paling bersejarah di Alexandria. Kemegahan bangunannya telah menarik perhatian banyak orang, bukan saja untuk beribadah, tapi kekaguman orang akan arsitekturnya. Tampil dengan fasad berwarna krem, empat kubah besar dan sebuah menara nan menjulang, masjid ini dibangun pada 1775 M untuk menghormati Syekh Abu al-Abbas al-Mursi, ulama Andalusia yang makamnya terdapat di dalam tempat ibadah ini. 

Syekh al-Mursi lahir di Andalusia, Spanyol, pada 1219. Pada 1242, ketika penguasaan Kristen di Spanyol kian meningkat, ia merantau ke Tunisia, kemudian ke Alexandria, tu juan populer banyak ulama pada saat itu. Sang ulama, yang dikenal sebagai guru dan cendekiawan, tinggal di kota ini selama 43 tahun hingga wafatnya pada 1286. 

Untuk sampai pada bentuknya yang sekarang, masjid ini telah beberapa kali direnovasi, salah satunya pada1943 ketika Mesir diperintah oleh Raja Faruk I. Kala itu, ditambahkan alun-alun masjid yang luasnya 43.200 meter persegi. n 

Benteng Qaitbay 

Berdiri megah di bibir Laut Mediterania, benteng ini dibangun oleh salah satu sultan dari Dinasti Mamluk, al-Ashraf an-Nashr Syaifudin Qaitbay, pada 1423 M. Layaknya benteng, bangunan ini berfungsi untuk menahan serangan yang kerap datang untuk mencaplok Mesir. Ancaman serangan itu utamanya datang dari pasukan Turki Utsmani. 

Kini, Benteng Qaitbay menjadi objek wisata penting di Alexandria. Berada di benteng ini, pengunjung dapat menyaksikan sebuah karya arsitektur benteng yang indah dengan loronglorong panjang serta pandangan lepas ke Laut Mediterania nan luas. Tampil dengan warna pastel yang lembut, benteng ini dilengkapi pula dengan masjid di lantai tertinggi. n 

Taman Muntazah 

Taman asri ini berada di ujung timur Alexandria. Taman yang terhampar seluas 155 hektare ini dikelilingi tembok besar dari selatan, timur, hingga barat. Namun, di sisi utaranya pengunjung bisa menikmati indahnya pantai dan matahari terbenam. Taman ini didominasi oleh pohon kurma. Selain tanaman khas dunia Arab itu, tumbuh pula aneka kembang, seperti bougenville, lantana ungu, kembang sepatu, dan tanaman hias lain yang jarang ditemui di wilayah tropis seperti Indonesia. 

Taman ini merupakan bagian dari Istana Muntazah, kediaman Raja Faruk, keturunan ter akhir Dinasti Muhammad Ali yang menguasai Mesir sejak abad ke-19. Pada 1953, Raja Faruk digulingkan lewat kudeta militer oleh Gamal Abdul Nasser, yang kemudian mengubah sistem pemerintahan di Mesir dari kerajaan menjadi republik. Setelah dikudeta, dia diasingkan ke Monako sampai meninggal. Kini, Istana Raja Faruk menjadi milik negara dan digunakan sebagai tempat menerima tamu-tamu kenegaraan. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement