REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kondisi ekonomi global yang terus bergejolak dan tendensi proteksionisme di beberapa negara telah memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekspor otomotif nasional. Salah satu indikasinya ditunjukkan penurunan volume ekspor kendaraan utuh (Complete Build Up/ CBU) merek Toyota hingga enam persen pada periode Januari sampai April 2019 dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Pada empat bulan pertama tahun ini, volume ekspor CBU Toyota sebanyak 61.600 unit. Sedangkan Januari hingga April tahun lalu, volume dapat mencapai 65.700 unit. Beberapa penyebab penurunan kinerja ekspor tersebut adalah kondisi perekonomian di negara destinasi tujuan ekspor terutama di kawasan Timur Tengah dan Filipina.
Direktur Administrasi, Korporasi dan Hubungan Eksternal PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam menjelaskan, situasi saat ini merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Naik turunnya kondisi perekonomian di sebuah negara tujuan ekspor merupakan hal di luar kontrol atau kendali perusahaan. "Tapi, hal-hal seperti ini tentu telah kami perhitungkan dalam manajemen resiko," ujarnya melalui siaran pers, Sabtu (25/5).
Dari total volume ekspor CBU bermerek Toyota tersebut, kontributor terbesar masih dipegang oleh model Sport Utility Vehicle (SUV) Fortuner dengan volume 14.400 unit atau 23 persen dari total volume ekspor. Berada di posisi berikutnya adalah Rush dengan volume 12.600 unit (20 persen), serta Agya di tempat ke tiga dengan volume 10.800 unit (18 persen).
Model-model lainnya adalah Vios, 7.500 unit, Avanza 8.400 unit, Kijang Innova, Sienta, Yaris serta Town Ace/Lite Ace dengan total volume 7.900 unit.
Meski kinerja ekspor CBU di empat bulan pertama tahun 2019 ini kurang memuaskan, Bob menuturkan, TMMIN tidak mengoreksi target pertumbuhan ekspor. Perusahaan masih optimistis pertumbuhan di atas lima persen hingga akhir tahun 2019 dapat terpenuhi.
Optimisme itu dikarenakan rencana ekspansi ekspor ke beberapa negara tujuan baru di kawasan Amerika Tengah pada pertengahan tahun. Selain itu, terdapat permintaan fleet order dari negara-negara Timur Tengah. "Upaya ini diharapkan bisa membantu tercapainya target yang ditetapkan," tutur Bob.
Bob menjelaskan, penambahan negara tujuan di kawasan Amerika Tengah tersebut melalui proses yang tidak singkat. Studi pasar termasuk peraturan dan regulasi di negara kandidat tujuan ekspor baru dilakukan langsung oleh divisi terkait di TMMIN sejak 2018.
Setelah seluruh proses studi selesai, TMMIN kemudian mengusulkan potensi perluasan ekspor ini ke pihak prinsipal untuk mendapatkan persetujuan. Bob menjelaskan, inisiatif tersebut dibutuhkan untuk menghadapi persaingan yang semakin sengit, ditambah dengan kondisi ekonomi global yang kurang stabil.
Sebelumnya, Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono memprediksi neraca dagang Mei akan kembali mengalami defisit. Prediksi ini disampaikan di tengah kondisi perang dagang yang membuat pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara mengalami perlambatan. Dampaknya, mereka mengurangi nilai ekspor, tidak terkecuali dari Indonesia.
Tapi, Susiwijono berharap, kondisinya tidak akan separah April yang mengalami defisit hingga 2,5 miliar dolar AS. "Kerja ekspor akan tetap berat, tapi semoga tidak sebesar defisit bulan lalu (April)," ujarnya ketika ditemui di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (23/5).