REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Capres Prabowo Subianto resmi mengajukan sengketa hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat (24/5) malam. Dalam permohonan yang diajukan, terdapat sejumlah poin utama yang dijadikan argumentasi kubu Prabowo untuk membuktikan kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif.
Berdasarkan lampiran alat bukti Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diterima Republika.id, yang diperkarakan yakni netralitas aparatur negara, penyalahgunaan anggaran belanja negara dan program pemerintah, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, pembatasan kebebasan media dan pers, serta diskriminasi perlakuan dan penegakkan hukum.
Tim Hukum Prabowo menyertakan poin-poin itu dilengkapi keterangan yang mengutip media-media massa. Tim hukum memasukkan puluhan bukti yang menurut Bambang masih bisa bertambah lagi. "Ada kombinasi antara dokumen dan saksi," kata Bambang Widjojanto selaku ketua tim kuasa hukum.
Terkait netralitas aparat, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga mengambil contoh pernyataan eks Kapolsek Pasirwangi, Garut yang mengaku diinstruksikan memenangkan Jokowi-Ma'ryf. Selain itu, BPN juga menyoal kasus dugaan polisi menjadi buzzer melalui jejaring alumni Sambhar.
Kemudian, BPN juga menyoal netralitas ASN. Dalam hal ini, BPN melampirkan bukti-bukti dukungan kepala daerah, hingga menteri atas capres Joko Widodo. BPN juga menyoal bagaimana para ASN diinstruksikan mengampanyekan Jokowi melalui sosialisasi program.
Penggunaan anggaran belanja pemerintah dan non pemerintah juga disoal oleh BPN. Pelanggaran ini ditinjolkan dalam hal misalnya pembangunan infrastruktur, peningkatan gaji pegawai di masa tahapan penetapan calon.
Lalu, BPN juga menyinggung soal kebebasan pers. BPN menuding tidak diliputnya acara Reuni 212 oleh media arus utama lantaran adanya tekanan oleh Jokowi sebagai pemerintah sekaligus capres pejawat. BPN juga menyoal pembatasan tayangan ILC, hingga pemblokiran situs Jurdil2019.org.
Semua bukti-bukti BPN itu dilampirkan dan berjumlah sebanyak 54 (P-54). Untuk mendukung tudingan BPN itu, kisruh DPT dan sistem hitung KPU juga disertakan dalam argumentasi BPN.
"Kami mencoba mendorong MK buka sekadar Mahkamah Kalkulator yang numerik, tapi memeriksa betapa kecurangan itu begitu dahsyat," kata Bambang Widjojanto.