UPemerintah Indonesia menormalisasi akses fitur foto dan video di sejumlah media sosial (medsos) serta aplikasi pesan pada Jumat (24/5/2019) malam. Akibat pembatasan itu, pemilik usaha kecil-menengah, utamanya mereka yang memiliki toko online (olshop), sempat mengalami kerugian. Tata kelola internet di Indonesia sendiri disebut berada di tengah-tengah model terbuka dan otoritarian.
Poin utama:
- Pemerintah Indonesia memulihkan akses fitur foto dan video pada sejumlah video dan aplikasi pesan pada 24 Mei 2019 malam
- Akibat pembatasan fitur itu, pedagang olshop di Indonesia sempat mengaku rugi hingga belasan juta per hari
- Indonesia dinilai belum memiliki posisi yang jelas mengenai penggunaan internet
Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia (Kemenkominfo) mencabut pembatasan fitur pada medsos Facebok, Instagram, Twitter serta aplikasi pesan Whatsapp empat hari setelah diberlakukan sejak Selasa (21/5/2019).
Pembatasan itu terjadi karena Pemerintah Indonesia berdalih menghindari penyebaran konten hoaks atau berita bohong seputar unjuk rasa dan kerusuhan pasca pengumuman Hasil Pemilu 2019.
Namun bagi sejumlah usaha kecil-menengah yang menggantungkan bisnis mereka dari fitur medsos seperti foto dan video, pembatasan tersebut justru mendatangkan kerugian.
Mita Septiani (23), pemilik toko online di Bogor, Jawa Barat, mengatakan selama pembatasan itu ia mengalami kerugian bersih sekitar Rp 50.000 per hari. Ia merasa dirugikan karena tidak bisa mengirimkan gambar ke pelanggan yang ingin membeli produknya.
Keluhan senada juga dilontarkan Fanny S. Rini (31), pedagang online di Bekasi, Jawa Barat. Ia mengaku dirugikan karena biasanya ia harus memperbarui stok gambar dari produk yang ia jual. Namun akibat pembatasan fitur foto di medsos, pelanggannya mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi rinci mengenai produk yang ditawarkan.
"Memang sih olshop saya penghasilannya msh recehan, tapi kalau dikumpulin lumayan untuk menambah biaya kelangsungan hidup sehari-hari di luar gaji bulanan," ceritanya kepada ABC.
Shelvi Pratama, pemilik olshop di Surabaya, Jawa Timur, bahkan mengalami penurunan omzet hingga 15 juta per hari akibat pembatasan itu.
"Itu semua karena susah upload produk, customer akhirnya susah chat, lalu jadi penurunan omzet," ujarnya.
Sementara pemilik toko online lainnya di Madiun, Jawa Timur, Ani Purwita, mengaku ia tak begitu terganggu dengan pembatasan fitur tersebut, walau membenarkan adanya kerugian.
"Saya pakai aplikasi dns 1.1.1.1. Kalau tidak, ya memang saya jadi tidak bisa kirim gambar," tuturnya kepada ABC.
Ia mengatakan kerugian yang dialaminya berasal dari aktivitas penjualan yang menurun.
"Nawarin jualan lewat FB messenger., yang beli enggak bisa lihat fotonya. Kalau di-rupiahkan bisa sejutaan per hari," akunya.
Syahronny, pebisnis online di Jakarta, menuturkan bahwa ia sempat mengakali situasi pembatasan itu dengan menggunakan akses wi-fi. Meski demikian, ia tetap mengalami kerugian.
"Secara tidak langsung ada penurunan omset yang persentasemya bisa sampai 60%," sebut pengusaha kecil-menengah ini.
Di sisi lain, Yessie Marisa, pengusaha travel di Makassar, Sulawesi Selatan, mengatakan ia tak keberatan dengan pembatasan fitur medsos dan Whatsapp yang sempat terjadi. Yessie mengaku ia sudah merasa tak nyaman memantau Facebook dan juga Whatsapp sejak Pemilu 2019 berlangsung, yang makin hari dinilainya makin memanas.
"Buat saya yang penting tetap bisa browsing dan belanja online. Tidak apa-apa lah medsos dibatasi, soalnya sudah kebablasan juga."
"Jadinya buat saya malah menguras energi positif kalau lihat postingan hoax atau amarah orang lain."
"Toh kan cuma dibatasi, bukan dilarang. China saja yang diblokir semuanya bisa tetap maju kok," pendapat perempuan berhijab ini.
Menurut penelitian Justin Sherman, pakar keamanan siber di Amerika Serikat, karakter tata kelola internet di 193 negara yang diamatinya begitu beragam. Ada negara yang memiliki kontrol ketat hingga negara yang benar-benar bebas memberlakukan internet.
Tata kelola internet di Indonesia
Dalam laporan yang dimuat ABC (23/5/2019), Sherman mengidentifikasi 50 negara yang dikategorikan sebagai 'digital decider', yang artinya negara-negara yang belum memutuskan apakah mereka mengadopsi model terbuka dari penggunaan internet, atau model otoritarian.
"Mereka benar-benar belum mengambil sikap jelas atas penggunaan internet," ujarnya.
Ada dua alasan mengapa hal tersebut terjadi. Pertama, insfrastruktur internet di beberapa negara masih terbelakang sehingga negara itu belum memiliki kebijakan di bidang siber.
Kedua, beberapa Pemerintah belum menentukan secara jelas model mana yang mereka anut.
"Beberapa hal yang mereka lakukan mungkin sifatnya demokratis, beberapa hal lainnya yang mereka lakukan mungkin berkarakter otoriter," kata Sherman.
Golongan 'digital decider', sebut Sherman, meliputi negara dengan populasi besar dan berpengaruh seperti Indonesia dan Afrika Selatan.
Langkah penting bagi negara semacam itu adalah bagaimana menyeimbangkan manfaat ekonomi yang berasal dari internet terbuka, dengan kontrol sosial yang ditawarkan oleh model otoriter seperti China.
Tapi ia sendiri khawatir, model terakhir-lah yang dipilih negara-negara seperti Indonesia.
"Pertanyaan pentingnya adalah bisakah negara-negara demokratis muncul dengan model internet yang memiliki keseimbangan ancaman yang sesuai dengan kebebasan sipil dan memastikan tidak menyalahgunakan kekuasaan atau melakukan praktek otoriter online," tanyanya.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.