REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga pemeriksa halal (LPH) memegang peranan penting dalam mata rantai proses sertifikasi halal. LPH mengaudit sertifikasi produk dari pangan, obat-obatan, hingga kosmetik. Banyak LPH sebenarnya terbentuk setelah pengesahan UU JPH lima tahun lalu. Mereka berada di bawah naungan organisasi masyarakat hingga perguruan tinggi.
Direktur Utama Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thayiban (LPHKHT) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Nadratuzzaman Hosen, mengatakan pihaknya telah siap membantu upaya pelaksanaan sertifikasi halal.
"Kami sangat senang dan bahagia dengan hadirnya PP JPH itu bahwa akhirnya PP ini bisa keluar sebelum Oktober 2019 karena kalau Oktober itu dalam UU sudah disebut wajib halal," ujar Nadratuzzaman kepada Republika, belum lama ini.
Ia menyebut pihaknya kini menunggu peraturan dari Menteri Agama sebagai satuan teknis. Apa yang tertulis dalam PP, ujar dia, masih belum membahas perihal teknis atau prosedur operasional standar (POS) bagi calon LPH.
Untuk masalah auditor, ia menyebut Muhammadiyah memiliki 10 orang yang sudah memiliki sertifikat. Selain itu, ada 30 auditor lagi yang menunggu pelatihan dan sertifikasi.
Muhammadiyah pun bekerja sama dengan laboratorium halal milik Fakultas Farmasi UHAMKA dan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). "Wajib halal ini memerlukan banyak auditor. Diperkirakan 30 ribu auditor yang diperlukan. Kalau sekarang, MUI punya 10 ribu maka ada 20 ribu lagi yang harus diisi," kata dia.
Selain mengaudit produk makanan dan minuman, LPH juga harus memproses obat-obatan dan kosmetik serta produk lain. Karena itu, Nadratuzzaman menyebut LPH-KHT membutuhkan banyak auditor. Dia pun mengaku siap jika ditugaskan melakukan pelatihan sesuai materi yang dimiliki BPJPH.
"Kami siap untuk melakukan pelatihan sendiri di bawah koordinasi BP JPH kalau di izinkan, disesuaikan dengan materi dari BPJPH. Nanti tinggal disertifikasi dari BP JPH. Ini bisa lebih cepat dan tidak perlu ber gantung pada Kemenag atau BPJPH," katanya menambahkan.
Menurut dia, ada tiga hal yang bisa men jadi perhatian BPJPH dalam menjalankan UU JPH. Pertama, masalah akreditasi bagi LPH. Makin cepat dan banyak LPH yang diberi akreditasi maka akan makin banyak bantuan untuk menyertifikasi produk-produk yang ada di Indonesia.
Kedua, insentif bagi LPH dan auditornya. Menurut dia, LPH dan auditor dinilai sebagai pekerja profesional dengan integritas tinggi. Perihal halal bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar nilainya. Karena itu, untuk menjaga integritas, insentif di perlukan demi menghindari suap dan membangun fasilitas LPH yang lebih baik lagi. Terakhir, pemantapan kerja sama antara BPJPH dan MUI selaku pemberi fatwa.
Menurut dia, mekanisme kerja dari BP JPH-LPH-MUI ini harus diatur dengan baik. Jangan sampai saat pelaksanaan, mobilisasinya jelek sehingga menimbulkan hambatan. Kerja dan pelayanan yang di berikan oleh setiap lembaga harus prima, baik dari segi IT, administrasi, maupun sistem.