REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Berpuasa di luar negeri pastilah berbeda dengan berpuasa di Indonesia. Hal itu pula yang dialami Yudi Hermawan.
"Perasaan puasa di sini tidak seperti di Indonesia. Apalagi dibandingkan dengan waktu saya mondok dulu," ujar mahasiswa Tianjin University itu.
Dia tiba-tiba teringat pada masa-masa menimba ilmu di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Jawa Timur. Pelajar berusia 20 tahun itu lalu menggambarkan suasana bulan puasa di pondok pesantren dan kampung halamannya di Pulau Kangean.
"Di sana kalau puasa, suasananya ya benar-benar seperti puasa. Sepi, tidak banyak aktivitas warga," ujarnya mengenang suasana Ramadhan di gugusan pulau di timur laut Madura itu.
Demikian halnya dengan di pondok pesantren, dirasakan sangat lama menantikan tabuhan beduk magrib bertalu-talu. "Meskipun banyak aktivitas belajar dan mengaji, menunggu waktu maghribnya terasa sangat lama gitu. Nggak tahu ya kenapa?" ujarnya.
Berbeda dengan di Cina yang sudah dua periode Ramadhan ini dia jalani. Yudi mengaku sama sekali tidak merasa sedang berpuasa karena tidak terbawa oleh lingkungan di sekitarnya.
"Puasa ya puasa saja. Bahkan orang lain tidak pernah tahu, kalau saya sedang tidak makan dan tidak minum," kata mahasiswa Jurusan Administrasi Bisnis itu menceritakan pengalaman puasa di tengah lingkungan yang tidak berpuasa itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, bulan Ramadhan di belahan bumi bagian utara, termasuk daratan Cina, jatuh pada musim panas. Itu berarti waktu edar matahari di Cina, terutama di wilayah utara dan timur laut, seperti Beijing, Tianjin, Shenyang, Changchun, dan Harbin, lebih lama dan lebih terik dibandingkan dengan di selatan.
Durasi waktu puasa di kota-kota tersebut relatif lebih lama dibandingkan dengan di wilayah selatan. Sebagai perbandingan waktu Imsak di Beijing pada tanggal 21 Ramadhan 1440 Hijriah (26/5/2019) pukul 03.15 dan magrib pukul 19.34. Sementara di Kota Hangzhou, Provinsi Zhejiang, yang agak ke selatan, imsakpukul 03.26 dan maghrib 18.52.
Di Cina, semakin maju perjalanan bulan Ramadhan, semakin lama durasi waktu puasanya karena matahari terbit lebih dini, sedangkan waktu terbenamlebih lambat. Dibandingkan dengan di Indonesia, tentu saja masa puasa lebih lama karena bisa jadi Yudi yang tinggal di Tianjin sudah imsak, sedangkan keluarganya di Indonesia bagian barat masih terlelap, apalagi adanya perbedaan waktu satu jam.
Demikian halnya ketika keluarganya di Kangean sudah bersiap shalat tarawih, dia masih iftar. "Tapi karena suasana di sini tidak lazimnya bulan Ramadhan, maka lamanya waktu puasa pun tidak terasa," ujarnya.