REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan semakin sedikitnya jumlah gugatan perselisihan hasil pemungutan suara (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengindikasikan bahwa pemilu berjalan lebih baik. Pada Pemilu 2019, jumlah gugatan PHPU ke MK jauh lebih sedikit jika dibandingkan Pemilu 2014 dan Pemilu 2009.
"Menurunnya jumlah PHPU pada Pemilu 2019 dibandingkan dengan PHPU pada pemilu-pemilu sebelumnya menunjukkan bahwa Pemilu 2019 lbh baik. Kenapa? Karena PHPU adalah salah satu kategori masalah hukum yg diatur dlm UU Pemilu (maupun Pilkada)," ujar Pramono saat dikonfirmasi wartawan, Senin (27/5).
Selain PHPU, lanjut dia, ada beberapa kategori lain, yakni pelanggaran administrasi (termasuk yang terstruktur, sistematis, dan masif/TSM), kode etik dan pidana), serta sengketa proses pemilu & PTUN Pemilu. Dalam sistem peradilan pemilu di Indonesia, kata Pramono, MK menjadi muara terakhir bagi para pencari keadilan.
Sebab, putusan MK bersifat final & mengikat. Karena itu, jika ada peserta pemilu (paslon capres-cawapres, larpol, maupun calon anggota DPD), yang merasa dicurangi atau dirugikan, baik oleh KPU maupun oleh Paslon/Parpol/Calon DPD lain, mereka akan mengajukan PHPU ke MK. Di MK, mereka akan mendalilkan apa kecurangan yg dialami dan di mana kecurangan itu terjadi.
"Berarti orang menggugat ke MK itu karena merasa dicurangi dalam hal proses pemilu atau dalam perolehan suara. Jika tidak ada kecurangan, maka tidak ada yang digugat. Jadi, semakin sedikit gugatan, berarti semakin sedikit terjadi kecurangan, yang berarti pemilu semakin baik," tegas Pramono.
Sebelumnya, dalam keterangan tertulisnya, Pramono menyebutkan pada Pemilu 2009 jumlah PHPU yang didaftarkan ke MK sebanyak 628 perkara. Sementara itu, pada Pemilu 2014 ada 903 perkara PHPU yang didaftarkan ke MK.
Kemudian, setelah Pemilu 2019, ada 340 perkara PHPU telah didaftarkan ke MK. Jumlah ini gerdiri dari 329 perkara PHPU pileg, 1 perkara PHPU pilpres dan 10 perkara PHPU pemilihan anggota DPD.