Senin 27 May 2019 15:56 WIB

Pimpinan KPK Respons Pernyataan BW Soal Rezim Korup

Saut menilai ada tiga indikator untuk menyatakan suatu rezim korup.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Tim Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 Bambang Widjojanto menyerahkan berkas pendaftaran gugatan perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 ke Panitera MK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (24/5/2019).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Ketua Tim Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 Bambang Widjojanto menyerahkan berkas pendaftaran gugatan perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 ke Panitera MK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (24/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang angkat bicara ihwal pernyataan Ketua Tim Hukum BPN Bambang Widjojanto (BW) yang menyindir rezim korup saat mendaftarkan gugatan sengketa pilpres 2019.

Menurut Saut, ada tiga indikator bila mengatakan suatu rezim korup. Pertama, bisa dilihat melalui Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Menurut Saut, jika dilihat dari IPK, pernyataan BW salah besar, sebab IPK Indonesia melonjak naik yang mengartikan ada penurunan angka korupsi di Indonesia.

Baca Juga

"Kalau pakai indikator Corruption Perception Indeks (CPI), maka Indeks NKRI menunjukkan naik dari tahun ke tahun, yang artinya ada penurunan korupsi itu jelas, jadi dari sisi ini saja sudah terjawab," terang Saut dalam pesan singkatnya, Senin (27/5).

Lebih lanjut Saut menuturkan, apabila penilaian rezim saat ini korup karena banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) dan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maka ada beberapa indikator juga yang perlu diperhatikan. Diketahui, sembilan lembaga internasional sudah menetapkan indikator tersebut.

"Indikator korupsi yang dinilai oleh sembilan lembaga international itu kompleks pada banyak hal, antara lain soal disiplin ASN/PNS, dana publik, hakim, jaksa, polisi, TNI, partai politik, bagaimana Indonesia melaksanaan Pemilu, seperti apa penagihan pajak dan cukai, pelayanan publik," ujar Saut.

Bisa saja menganggap perubahan di lembaga tersebut masih belum mencapai kecepatan optimal, tapi terdapat perubahan di masing-masing Kementeriaan atau lembaga saat ini  sejak empat tahun terakhir.  "Walau masih bolong-bolong dan KPK terus mencoba mencari pembolong-pembolong itu bersama pemerintah," tambahnya.

Kemudian, lanjut Saut, indikator terakhir untuk menyimpulkan bahwa rezim saat ini dapat dikatakan korup adalah dengan penilaian Variaties Democracy V-Dem milik Transparancy International.

Kalau memakai indikator V-Dem maka seperti apa penyelenggara dan parpol sebagai peserta melaksanakan pemilu akan jelas di bagian mana yang harus dibenahi agar korupsi bisa signifikan menurun dengan kecepatan optimum. 

Sebelumnya, BW berharap MK tidak menjadi bagian dari rezim korup. BW bersama tim hukum Prabowo-Sandi menggugat hasil pilpres karena dinilai ada kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.

"Mudah-mudahan Mahkamah Konstitusi bisa menempatkan dirinya menjadi bagian penting di mana kejujuran dan keadilan harus menjadi watak dari kekuasaan, dan bukan justru menjadi bagian dari satu sikap rezim yang korup," ujar BW.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement