REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Konsolidasi Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Doni Janarto Widiantono mengatakan, hampir 49 persen dari luas wilayah Jakarta termasuk kawasan kumuh. Pihaknya telah memetakan, hampir 118 kelurahan dari 264 kelurahan di Ibu Kota terdapat kawasan kumuh.
"Intinya sebetulnya kalau kita petakan hampir di 118 kelurahan dari 264 kelurahan itu ada kawasan kumuhnya," ujar Doni seusai sosialisasi reforma agraria di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (27/5).
Untuk itu, ia mengatakan, akan memetakan kembali kawasan kumuh tersebut. Sebab, setiap karakterisik kampung kumuh berbeda-beda sehingga upaya sistematis melalui pendekatannya pun tak sama.
Doni menjelaskan, Kementerian ATR/BPN berupaya mengintensifkan hunian vertikal seperti rumah susun. Nantinya, selain tempat tinggal kawasan itu bisa dipakai untuk ruang terbuka dan ruang sosial yang lebih besar.
"Itu nanti kita perlu lakukan upaya-upaya secara sistematis selama paling enggak tiga-lima tahun ke depan dan nanti kita perlu mungkin memang fokus beberapa proyek percontohan dulu," kata Doni.
Ia memaparkan, pihaknya akan mengonsolidasikan hunian horizontal menjadi satu bidang tanah dengan istilah hak milik bersama. Atau diberikan hak pengelolaan bila itu tanah milik negara.
Sementara itu, lanjut dia, tak ada pembebasan lahan yang selama ini dilakukan kepada masyarakat. Bahkan, dengan konsolidasi lahan, harga tawar tanah warga bisa menjadi lebih tinggi.
Doni menjelaskan, pemerintah akan mengkapitalisasinya. Sebagai contoh, jika ada 500 bidang tanah yang rata-rata 100 meter persegi maka setara dengan lima hektare. Jika dikalikan Rp 20 juta, nilainya mencapai Rp 2 triliun.
"Itu yang sebetulnya nanti bisa menjadi modal sosial untuk masyarakat untuk nanti mereka menjalin kemitraaan dengan pihak terutama swasta terutama investor yang berminat yang bisa dikerjasamakan," jelas Doni.
Kemudian, masyarakat punya modal untuk membangun rumah. Doni mengatakan, untuk pengembang bisa menggunakan lahan lainnya secara komersial untuk mengembalikan besaran investasinya.
Di sisi lain, lanjut dia, jika tanah itu milik BUMN, asetnya tidak perlu dilepaskan. Akan tetapi, melalui kerja sama seperti konsep sewa atau ada hak pakai dengan batas waktu seperti sistem apartemen.
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan meluncurkan Gugus Tugas Reforma Agraria pada Senin (27/5). Fungsinya, untuk mendukung penyelenggaraan reforma agraria di Ibu Kota.
"Kita sama-sama ketahui bahwa ini adalah tindak lanjut dari terbitnya Kepgub (Keputusan Gubernur) 574 tahun 2019 sebagai perubahan atas Kepgub 162 tahun 2019. Dan, sesuai dengan keputusan tersebut, dibentuk gugus tugas," kata Anies dalam sambutannya.
Ia mengatakan, reforma agraria ini penting yang diharapkan bisa mengatasi beberapa persoalan mendasar di bidang agraria. Permasalahan yang berimplikasi pada aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek politik. Khususnya dalam hal ketimpangan penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang ada di Jakarta.
Anies meyakini Gugus Tugas Reforma Agraria dapat berkontribusi optimal dalam penyelenggaraan reforma agraria di Jakarta. Sehingga, kebijakan tersebut dapat terlaksana dan dirasakan manfaatnya oleh warga Jakarta.
Reforma Agraria merupakan salah satu program prioritas nasional dalam upaya membangun Indonesia dari pinggir dan dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, terdapat tiga tujuan.
Pertama, menata ulang struktur agraria yang timpang jadi berkeadilan. Kedua, menyelesaikan konflik agraria. Ketiga, menyejahterakan rakyat setelah reforma agraria dijalankan. Selama ini, sering terjadi konflik masalah agraria.
Dalam hal ini, setidaknya ada dua pemicu konflik agraria. Pertama, kurang tepatnya hukum dan kebijakan pengatur masalah agraria, baik terkait pandangan atas tanah, status tanah dan kepemilikan, hak-hak atas tanah, maupun metode untuk memperoleh hak-hak atas tanah. Kedua, kelambanan dan ketidakadilan dalam proses penyelesaian sengketa tanah, yang akhirnya berujung pada konflik.
Dari total luas tanah DKI Jakarta seluas 662,3 km persegi, luas bidang tanah yang telah bersertifikat seluas 532,6 km persegi atau setara 80,42 persen. Sementara itu, tanah yang belum bersertifikat seluas 129,7 km persegi atau 19,58 persen.