REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi sebagian besar umat Islam, bulan Ramadan adalah momen kebersamaan dengan keluarga, teman, dan komunitas. Mereka bisa sahur, buka puasa, dan pergi ke masjid bareng.
Di lain sisi, Ramadhan juga bisa menjadi bulan yang paling sepi. Apalagi, bagi mereka yang baru mendalami agama Islam, mualaf, imigran baru, seseorang yang memiliki lingkungan dengan keyakinan berbeda, yang tinggal di daerah terisolasi, atau bahkan Muslim mungkin tidak memiliki masjid atau komunitas.
Pada kondisi yang demikian, media sosial adalah salah satu alat yang membantu menjembatani jarak antara teman, keluarga, dan pemuka agama. Omar Aziz, seorang organisator komunitas Afganistan-Amerika yang yang tengah menempuh pendidikan di Universitas George Mason, ingin sekali terhubung dengan komunitas Muslim secara fisik.
"Media sosial membantu saya melihat ceramah dari para ulama dan mencari tahu tentang jadwal iftar komunitas," kata Omar, seperti dilansir Religionnews.
Ruang digital menjadi andalan Omar karena ia tidak selalu terhubung dengan keluarga dan komunitas. Menurut Omar, media sosial sangat penting untuk membantu mengisi kekosongan tersebut.
"Komunikasi melalui media sosial memiliki dampak yang sangat besar dalam membangun komunitas dan memiliki persahabatan," kata Omar.
Sementara itu, Askaryar (33) mungkin tidak dapat melakukan perjalanan ke Chicago untuk shalat dan berbuka puasa bersama Muslim di Masjid al-Rabia Chicago. Tetapi hanya dengan mengetahui bahwa ada beberapa orang yang shalat dan kadang-kadang bisa menyaksikan mereka melakukannya di Instagram Live, membuatnya tidak sendiran lagi.
Tahun ini, Masjid al-Rabia juga meluncurkan tagar #MyDisabledRamadan untuk membantu Muslim difabel di seluruh dunia menemukan komunitas. Ini termasuk komunitas berbuka puasa di masjid di Chicago pekan lalu yang disiarkan online. Program-program masjid berupa shalat Jumat, lingkaran studi Alquran dan "hangout digital" langsung sekitar waktu buka puasa juga dilakukan secara daring.
Percakapan seputar #MyDisabledRamadan mencerminkan bahwa dialog yang dibuat oleh #BlackMuslimRamadan, diluncurkan di Twitter oleh antropolog Donna Auston pada tahun 2015. Auston mencari cara agar umat Islam yang kurang terwakili dapat berbagi pengalaman mereka dengan orang lain di seluruh dunia melalui foto, puisi, resep, dan refleksi.
"Di dunia di mana kulit hitam sangat sering diserang sebagai antitesis dari semua yang indah, komunitas digital yang baru terbentuk ini menegaskan dan mengangkat estetika hitam yang tidak menyesal sebagai tolok ukurnya sendiri," tulis Auston .
Muslim kulit hitam juga telah menciptakan ruang virtual untuk diri mereka sendiri dengan Sapelo Square, sebuah blog yang berupaya menjadi "ruang berkumpul yang dibangun di atas tradisi panjang Islam di Amerika dan mencerminkan vitalitas Kehidupan Muslim Hitam."
Setiap Ramadhan sejak 2016, mereka telah mengundang kontributor untuk menawarkan refleksi pada ayat-ayat Alquran melalui lensa Muslim berkulit hitam. Satu refleksi emosional membandingkan penderitaan ibunda Nabi Musa AS seperti yang diceritakan dalam Al-Quran dengan cara anak-anak perempuan kulit hitam yang diperbudak diambil dari mereka dan “dijual ke sungai (Mississippi). Sementara itu, mereka yang di balik jeruji menemukan harapan dalam kisah dalam Quran tentang Nabi Yusuf AS.
"Saya tahu banyak Muslim yang berkulit hitam memiliki berbagai komunitas berbeda yang saya tahu tidak perlu saling kenal atau tidak menghabiskan waktu satu sama lain," Abderahman menjelaskan pekan lalu di Podcast Identity Politics, yang menampilkan kisah-kisah tentang ras, gender, dan kehidupan Muslim Amerika.
"Niat itu sebenarnya hanya untuk mendapatkan banyak dari orang-orang ini ... menempatkan mereka semua di ruangan dengan maksud untuk berbuka puasa bersama dan membangun komunitas."