REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Siti Zainab Yusuf
Selama ini, kebanyakan makhluk yang berstatus sebagai ayah, hanya disibukkan mencari nafkah untuk keluarganya. Membahagiakan istri dan putra-putrinya adalah tujuan utamanya. Mencukupi kebutuhan ekonomi adalah alasan utamanya. Mengangkat derajat keluarga adalah cita-citanya. Hidup lebih layak dan berkecukupan adalah prioritasnya.
Begitu sibuknya dengan tuntutan-tuntutan tersebut, akhirnya terlupakanlah dengan urusan doa untuk putra-putrinya. Memasrahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan doa kepada istrinya saja. Terkadang mendoakannya juga, tapi tidak yakin kalau doanya terkabulkan.
Ada semacam sekat, bahwa urusan nafkah, urusan ayah, urusan doa urusan ibu semata. Bahkan uniknya, dengan alasan sibuk bekerja yang mengantarkan ayah pada puncak rasa lelahnya, membuat terlena dengan waktu istirahatnya. Tak ada waktu untuk bangun malam untuk shalat Tahajud ataupun shalat Hajat. Terlelap sudah hingga pagi menjelang. Terjebak lagi dengan rutinitas seperti semula. Bekerja, bekerja dan bekerja lagi.
Kisah para Nabi setidaknya bisa dijadikan sebuah referensi, bahwa doa ayah sangatlah amazing. Ingatlah ketika Nabi Zakaria mendoakan putranya, Nabi Yahya. Robbi habli minas shalihin, robbi habli min ladunka zurriyatan thoyyibatan.
Akhirnya doa Nabi Zakaria terkabulkan, lahirlah Nabi Yahya. Nabi Yahya mempunyai keistimewaan di atas Nabi Isa. Buktinya Allah SWT, memberikan salam kepada beliau dari Allah sendiri, wa salaamun alaihi yauma wulida, wa yauma yamuutu wa yauma yub’atsu hayya.
Nabi Yahya adalah Nabi yang suci hati dan pemikirannya. Dia tidak mempunyai pemikiran yang kotor atau ngeres. Semua itu berkat doa ayahnya, Nabi Zakaria.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah doa Nabi Ibrahim untuk anak keturunannya. Sebagaimana hadits Nabi Saw, “Akhbirnaa an nafsik,” suatu kali para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hakikat keberadaan beliau di tengah-tengah mereka. “Beritahu kami tentang dirimu,” sederhananya. “Ana,” jawab Rasulullah, “da’watu abi Ibrahim,” beliau memperkenalkan dirinya sebagai sebuah jawaban dari doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Kita, dengan jutaan tanda tanya yang melayang-layang bergandeng rasa penasaran, pun mungkin kemudian bersimpuh di depan sebuah pertanyaan yang begitu besar: doa Nabi Ibrahim yang manakah yang membuahkan Rasulullah shallallahu ‘aiaihi wa sallam sebagai jawabannya?
Doa tersebut ternyata telah terukir abadi dalam QS Al Baqarah: 129, “Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Alquran) dan hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Membacakan, mengajarkan, dan menyucikan; pinta Ibrahim dalam doanya. Dengan melantunkan doa ini seusai membangun Ka’bah bersama Ismail, segenggam cita ia gantungkan ke pucuk tertinggi semua harapan dapat dititipkan, yakni di tangan Rabb-nya. Seolah ia menyiratkan bahwa Rumah Allah itu tidak akan bisa menjadi manfaat kecuali ia dikelilingi oleh orang-orang yang dibacakan, diajarkan, sekaligus disucikan. Maka, kecemasan Nabi Ibrahim, semoga kelak di antara mereka yang mendiami lingkungan Ka’bah tersebut terdapat seseorang yang memastikan semua itu terwujud. Yang mengusahakan agar mereka terliputi ilmu, sehingga tak kering jiwanya, tak tandus akalnya, serta tak kerontang hatinya.
Permohonan ribuan tahun silam itu pun kini terpampang di depan mata para sahabat, menatap lekat mata mereka sembari berkata, “Aku adalah jawaban dari doa ayahku, Ibrahim.”
Sebuah doa yang luar biasa, tentunya. Sebab pada kemudian hari, miliaran manusia merasakan imbas dari doa tersebut hingga detik ini.
Dari kisah para nabi dapatlah memotivasi kita semua, terutama para ayah untuk lebih bersemangat mendoakan putra-putrinya. Dengan modal kebersihan dan kesucian hati, yakinlah doa ayah akan lebih mustajabah. Tetap bekerja menjalankan amanah. Tetap semangat melanjutkan aktivitas mulia, mencari nafkah untuk keluarganya. Tetapi tetap termotivasi dan yakin bahwa doa-doanya juga didengar oleh Allah SWT. Layak untuk dikabulkan. Doa yang tak terabaikan. Doa yang mencapai derajat mustajabah sebagaimana doa para ibu.
Wahai para ayah, yakinlah bahwa doamu layak untuk diperhitungkan oleh Sang Maha Pencipta. Kekuatan doa ayah bisa menjadi sumber kekuatan putra-putrinya dalam menerjang badai kehidupan. Dan mampu bertahan dalam berbagai dera dan coba.
Doa ayah memang bisa lebih mustajabah. Bersihnya hati sang ayah akan menuntunnya mencapai mustajabah.
Bukan berarti doa ibu tidak mustajabah. Doa ibu juga mustajabah, jikalau kebersihan hati dan lisannya terjaga. Wahai ayah dan ibu, alangkah indahnya kalau disinergikan. Alangkah dahsyatnya jika disatukan. Alangkah syahdunya jika disenandungkan bersama dalam sepertiga malam.
Sinergi doa ayah dan ibu akan menjadikan putra-putrinya menjadi anak yang saleh salehah dan mengantarkan kesuksesan mereka dalam meniti masa depannya.Berharap lillahi ta’ala wa mardhatillah. Amiin.