REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Penasihat Nasional Keamanan Amerika Serikat (AS) John Bolton mengatakan serangan terhadap empat kapal tanker di dekat Fujairah di Uni Emirat Arab (UEA) pada awal bulan ini hampir dipastikan dilakukan oleh Iran. Pernyataan ini datang pada Rabu (29/5), meski tidak ada bukti dari klaim tersebut.
“Jelas bahwa Iran berada di balik serangan di Fujairah, jika bukan siapa lagi yang melakukannya? Apa seseorang dari Nepal?” ujar Bolton dalam sebuah konferensi pers di Kedutaan Besar AS di UEA, seperti dilansir The National.
Meski tidak memberi bukti atas klaim tersebut, Bolton mengatakan bahwa Washington yakin Iran berada di balik serangan Fujairah. Ia juga menyebut bahwa serangan terhadap empat kapal tanker di wilayah tersebut sebagai serangan sabotase.
Serangan itu telah memicu kecaman dari negara-negara Teluk Arab. Penyelidikan internasional atas insiden di Fujairah tersebut juga diminta untuk segera dilakukan.
Saat ini, UEA mengatakan masih akan menunggu hasil penyelidikan, sebelum meminta pertanggungjawaban pihak yang berada di belakangnya. Pakar dari AS disebut terlibat dalam penyelidikan tersebut.
Sebelumnya, pejabat keamanan AS mengatakan telah terjadi serangan yang terjadi di pelabuhan pengiriman minyak Arab Saudi di Yanbu. Namun, serangan yang diyakini berasal dari Iran tersebut berhasil digagalkan.
Ketegangan antara AS dan Iran telah dimulai sejak Presiden Donald Trump pada tahun lalu memutuskan agar negaranya mundur dari perjanjian nuklir Iran 2015 yang dibuat bersama dengan enam negara dalam Dewan Keamanann PBB. Tak hanya itu, AS kemudian memberikan sejumlah sanksi yang menekan Iran, mulai dari laranan ekspor minyak, serta sejumlah sanksi ekonomi yang dikenakan kepada individu dan para pelaku bisnis.
Dengan tekanan yang terus meningkat, terutama dengan ancaman AS melalui tindakan militer, Iran pada 8 Mei lalu memutuskan ntuk menangguhkan beberapa kesepakatan dalam Perjanjian Nuklir 2015. Dalam sebuah pernyataan, Presiden Iran Hassan Rouhani juga mengatakan bahwa Teheran akan tetap memiliki kelebihan uranium yang diperkaya. Negara itu tidak akan menjualnya, seperti yang diminta dalam perjanjian nuklir tersebut.
Sejumlah pengamat telah mengatakan AS harus berhati-hati agar tidak membuat situasi Iran seperti Irak. Di era mantan presiden George W Bush, AS melakukan invasi di Irak dengan alasan mengutip infomasi intelijen bahwa mantan presiden Irak Saddam Hussein memiliki hubungan dengan Al Qaeda dan secara diam-diam negaranya mengembangkan senjata nuklir, kimia, dan biologi. Namun, kedua tuduhan tersebut terbukti salah.
Dalam sebuah pernyataan, seorang pejabat AS yang enggan disebutkan namanya mengatakan Trump sebenarnya ingin meningkatkan hubungan diplomatik dengan Iran. Pria berusia 72 tahun itu juga secara pribadi memiliki kekhawatiran atas sikap beberapa penasihatnya, seperti Bolton yang kerap mempelopori kebijakan untuk menekan dan pada akhirnya mendorong perang dengan Iran.