Kamis 30 May 2019 13:44 WIB

Buruh Pabrik Tekstil Khawatir Di-PHK Setelah Lebaran

Penurunan produksi industri tekstil akibat impor memengaruhi kerja buruh.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Nur Aini
Salah satu kegiatan di sebuah pabrik tekstil di Indonesia.
Foto: zhie.student.umm.ac.id
Salah satu kegiatan di sebuah pabrik tekstil di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Industri tekstil di Jabar banyak yang lampu kuning karena usahanya terus merosot di tengah serbuan produk impor. Buruh tekstil di Jabar pun, mulai banyak yang khawatir mendapat pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menurut Wakil Ketua Bidang Organisasi SPSI Kabupaten Bandung yang juga Anggota Dewan Pengupahan, Mulyana, kondisi usaha tekstil di Jabar saat ini mengalami persoalan karena terus menurunnya produksi. 

Baca Juga

"Setelah hari raya, kami semua khawatir dengan keberlangsungan usaha ini bagaimana. Nanti, akan ada pengurangan produksi lagi sampai perumahan nggak," ujar Mulyana kepada wartawan di Bandung, Kamis (30/5).

Menurut Mulyana, terpuruknya kondisi tekstil di Jabar terjadi karena beberapa hal. Pertama, karena pabrik sempat diberhentikan dengan adanya program Citarum Harum karena ada limbah. Akibatnya, sempat terjadi pengurangan karyawan.

"Tapi kalau Citarum, dampaknya nggak lama.  Tekstil bisa pulih lagi," katanya.

Saat program Citarum Harum, kata dia, pengaruh ke karyawan hanya jam lembur yang dikurangi. Sehingga, buruh yang biasanya bisa mendapatkan uang lembur dan gaji Rp 4 juta, hanya mendapat uang gaji saja. 

Saat ini, kata dia, yang paling berat dan harus dihadapi pengusaha tekstil adalah persaingan produk tekstil impor yang membanjiri Indonesia. Banyaknya produk impor, membuat pengusaha tekstil mengurangi produksinya. 

"Hampir semua perusahaan tekstil di Kabupaten Bandung mengalami penurunan. Beberapa perusahaan sudah merumahkan karyawan misalnya Naga Sakti, Alena Tex, Rama Tex, dan lainnya. 

Mulyana berharap, pemerintah segera melakukan upaya untuk mengendalikan barang impor agar produksi lokal bisa bertahan. "Persaingan dengan produk impor itu sangat sulit pasar lokal nggak keserap. Pengusaha dan karyawan khawatir karena banyak teman-teman yang dirumahkan," katanya.

Di tempat yang sama, Ketua Konfederasi SPN dan Anggota Komite Pengawas Ketenagakerjaan RI, Ristadi mengatakan, industri tekstil sudah lampu kuning. Di Jabar khususnya, Bandung Raya, industri tekstilnya terbesar di Indonesia jumlahnya lebih dari 800an. Namun, dengan adanya produk impor, semua perusahaan terpukul.

"Tapi yang paling terpukul produk impor industri padat karya ini. Pusat tekstil di Bandung raya sekarang batuk-batuk. Banyak yang rasionalisasi karyawan, banyak yang sudah tutup pabriknya. Ini lama-lama kan tekstil tinggal cerita," paparnya. 

Menurut Ristadi, saat ini banyak pengusaha tekstil yang sudah beralih ke bisnis perhotelan. Misalnya, Danar Mas yang mengalihkan usahanya ke perhotelan di kawasan Dago. 

"Banyak yang pindah karena tekstil semakin lama semakin berat. Harga bahan baku tinggi. Intensif pemerintah masih setengah hati untuk menyuntik padat karya," katanya.

Berdasarkan laporan anggotanya, kata dia, per Januari karyawan tekstil yang dirumahkan ada 265 ribu anggota se Indonesia. Sementara yang rasionalisasi ada 21 ribu orang.

"Itu yang lapor ke kami se Indonesia. Tapi, dari 265 ribu itu paling banyak tetap 90 persennya ada di Jabar," katanya.

Ristadi berharap, pemerintah tak membiarkan kondisi tersebut dan melakukan berbagai upaya. Salah satunya, membatasi barang impor masuk ke Indonesia dan menaikkan tarif bea masuk supaya harganya sama dengan produk lokal. 

"Jadi ada pilihan konsumen akan berpikir untuk tetap memakai produk lokal. Kalau kualitas sama, harga impor lebih murah mati lah kita," katanya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement