REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh Aceh, Muhammad Nazar, memberikan pandangannya terkait isu referendum Aceh yang kembali dihembuskan. Menurutnya, isu ataupun kata referendum jangan dijadikan sebagai sinetron politik.
"Saya kira kita tidak menginginkan isu dan penggunaan kata referendum itu menjadi sinetron politik hanya karena ada kalah-menang dalam pilpres," ungkap mantan Koordinator Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) itu kepada Republika.co.id, Kamis (30/5).
Menurut Nazar, penggunaan referendum itu berbeda dengan dulu, yang dimunculkan olehnya. Dulu, kata dia, referendum yang dibangun oleh SIRA didasari oleh adanya perasaan Aceh dijajah oleh Pemerintah Indonesia. Setelah perdamaian, kata dia, keadaannya sudah berubah.
"Tapi setelah perdamaian kan keadaannya jadi berubah dan keadaan kita lebih baik," kata dia.
Ia menuturkan, yang rakyat Aceh butuhkan saat ini adalah perhatian yang lebih serius lagi dari pemerintah. Perhatian serius itu terutama dalam hal pembangunan di dalam berbagai bidang. "Siapapun nanti yang keputusan MK terakhir jadi presiden, saya kira tidak boleh mengabaikan Aceh. Jadi, bukan masalah referendumnya," terangnya.
Ia juga menuturkan, Indonesia butuh segera melakukan rekonsiliasi nasional secara formal, selain juga informal. Aceh, kata dia, telah berusaha memulai itu. Tetapi, hal itu masih tetap dilakukan secara informal karena peraturan perundang-undangan tekait rekonsiliasi sudah dibatalkan atau dibubarkan.
"Sehingga Aceh yang seharusnya harus melakukan hal itu sebagai tindak lanjut dari MoU Helsinki dan UU No. 11 tentang Pemerintahan Aceh juga akhirnya tak dapat melakukan. Kalau sekedar qanun ya tidak bisa jika akhirnya dibatalkan juga oleh kementerian terkait," tuturnya.
Nazar juga menyebutkan, jika Indonesia tak melakukan rekonsiliasi nasional, maka Indonesia akan terus dalam pergumulan isu sosial politik dan nasionalime. Isu yang melahirkan banyak konflik, bukan nasionalisme produktif yang melahirkan peradaban bernegara yang menguntungkan kemanusiaan dan kemajuan.