REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU, KH Yahya Cholil Staquf menjelaskan tentang tradisi bisyarah. Sebelumnya, pengacara Haris Hasanudin, Samsul Huda Yudha mengatakan, pemberian uang senilai total Rp 70 juta untuk Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Ketua Umum PPP non-aktif Romahurmuziy alias Romi bukan ditujukan sebagai fee melainkan sebagai bisyarah.
Menurut Yahya, memberikan tanda terimakasih atau bisyarah kepada orang lain tergantung pada niat. Namun, jika sudah mengarah ke gratifikasi perlu dihindari. "Kalau dilihat dari hukum agama, memberikan sesuatu itu cukup dilihat dari niatnya," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Jakarta, Jumat (31/5).
Namun, dia juga menyampaikan zaman sekarang sudah cukup sulit membedakan orang yang benar-benar tulus hanya sekedar memberikan sesuatu tanpa mengharapkan pamrih apapun. Apalagi jika berkaitan dengan gratifikasi sebaiknya perlu dihindari. Sebab, pemerintah pun telah menetapkan dalam UU jika gratifikasi merupakan tindakan pidana.
Dalam kasus Romi, pemberian uang untuk Lukman terungkap dalam pembacaan dakwaan untuk Haris yang dibacakan jaksa KPK pada saat sidang berlangsung.
Haris didakwa memberikan suap sejumlah Rp 325 juta kepada Ketua Umum PP non-aktif yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2014-2019 Romahurmizy alias Rommy dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
"Bisyarah itu artinya menggembirakan. Biasanya kalau di pondok pesantren diberikan kepada para guru ngaji sebagai bentuk pesangon atau terima kasih. Itu betul dilakukan. Tapi untuk Rp 50 juta pada 1 Maret di Kanwil Kemenag Jatim itu bukan dari uang Pak Haris melainkan dari seluruh kepala kantor, urunan untuk menghormati Pak Menag yang datang dan itu sudah berlangsung lama," jelas Samsul.
Menurut Samsul, bisyaroh itu merupakan kebiasan atau tradisi kepada pimpinan yg hadir. "Meskipun itu tidak baik, maka inilah PR (pekerjaan rumah) kita ke depan supaya tidak ada lagi hal itu," tambah Samsul.(Umi Soliha)