Isu-isu ekonomi pemerintahan baru menjadi sorotan utama yang disampaikan oleh responden survei Republika-Claster Consulting. Bobot fokus isu ekonomi ini lebih besar dibandingkan isu penegakan hukum, pendidikan, sosial, keagamaan, bahkan infrastruktur (lihat tabel).
Total responden yang menginginkan pemerintahan baru langsung fokus ke isu ekonomi ada 55 persen, dibandingkan isu pemberantasan korupsi (19 persen) atau isu jaminan kesehatan nasional (4 persen) dan isu pendidikan (4 persen), serta isu pembangunan infrastruktur (4 persen).
Dalam memandang isu ekonomi itu, responden menilai, pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wapres KH Ma'ruf Amin harus mampu menggarap tiga hal prioritas. Prioritas pertama adalah membuka lapangan kerja seluas-luasnya.
Sebanyak 40 persen responden survei Republika-Claster memandang hal ini sebagai prioritas terdepan pemerintahan yang akan datang. Kemudian disusul oleh menurunkan harga-harga atau biaya hidup agar lebih terjangkau (10 persen) dan meningkatkan pendapatan (4 persen).
Bila mengacu pada data angkatan kerja dan tingkat pengangguran terbuka Badan Pusat Statistik (BPS), terlihat hasil survei Republika-Claster agak berlawanan dengan hasil kinerja pemerintahan Jokowi- Jusuf Kalla ini. Sebab, menurut BPS, tingkat pengangguran terbuka dari 2016-2019 terus turun menjadi 5,01 persen pada Februari 2019 dari total angkatan kerja per Februari 2019 sebesar 136,18 juta orang.
Namun, di tengah laju penurunan tingkat pengangguran terbuka, hasil survei Republika-Claster justru memperlihatkan publik belum merasa puas dengan lapangan kerja yang tersedia. Publik tampaknya ingin pemerintah yang baru untuk lebih aktif dan kreatif lagi membuka lapangan pekerjaan. Utamanya lapangan kerja dengan pendapatan yang lebih baik.
Seiring dengan itu, publik juga ingin pemerintah mampu meredam gejolak pergerakan harga-harga bahan pokok di pasar. Gejolak harga ini mampu membuat pergerakan pada beban hidup responden menjadi tidak stabil. Responden ingin agar pemerintah pusat dan daerah berperan kuat menstabilkan harga-harga.
Survei Republika-Claster Consulting
Sedari awal pemerintahan Jokowi-JK masalah bahan pokok menjadi pekerjaan rumah yang belum juga tuntas diperbaiki. Gejolak harga bahan pokok terus terjadi sepanjang tahun. Bergantian tiap komoditas.
Impor pangan juga mewarnai kebijakan pangan Jokowi-JK. Pemerintah seolah kesulitan membenahi secara mendasar permasalahan pangan nasional, agar bisa menuntaskan masalah gejolak harga itu. Akhirnya jalan impor pangan selalu diambil. Mulai dari impor beras, bawang, ubi, hingga garam.
Prioritas ketiga yang paling disorot responden adalah perang terhadap korupsi. Sebanyak 19 persen responden survei Republika-Claster menginginkan pemerintahan baru terus mengobarkan perang terhadap korupsi.
Bisa jadi ini mengacu pada hasil kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam lima tahun terakhir. Di mana KPK amat giat melakukan operasi tangkap tangan terhadap aparatur negara ataupun pengusaha yang kongkalikong untuk korupsi.
Tercatat sampai April kemarin sudah lebih dari 100 kepala daerah ditangkap KPK karena terbukti menerima gratifikasi dan suap dalam berbagai proyek di daerahnya. Para kepala daerah ini umumnya menerima suap dari pengusaha rekanan yang ingin tender proyeknya diloloskan pemerintah daerah. Selain kepala daerah, KPK juga giat menangkap tangan anggota DPR/ DPRD, hakim, jaksa, politikus, dan ketua partai pendukung pemerintah, yang terbukti menerima suap.
Infrastruktur
Satu temuan yang menarik dalam survei ini adalah munculnya dualisme fokus terkait isu ekonomi dan isu infrastruktur. Seperti yang ditunjukkan dalam tabel bahwa sebanyak 40 persen responden survei Republika-Claster menginginkan pemerintah yang baru untuk membuka lapangan kerja yang menghasil kan pendapatan yang bagus. Namun, rupanya membuka lapangan kerja ini tidak terkait dengan pembangunan di sektor infrastruktur yang selama ini giat dijalankan pemerintahan Jokowi-JK.
Karena hanya empat persen responden yang menginginkan prioritas utama adalah tetap infrastruktur, seperti membangun jalan, jembatan, dan lainnya sebagai sarana penghubung nasional. Sementara, selama lima tahun terakhir pemerintahan Jokowi-JK amat jor-joran membangun infrastruktur utamanya di luar Jawa.
Juru bicara Tim Kampanye Nasio nal (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Arif Budimanta, memandang hasil survei Republika-Claster sudah sejalan dengan sejumlah survei terdahulu soal kepuasan terhadap kinerja pemerintah. Menurut Arif, masyarakat ingin ada perbaikan daya beli, pekerjaan, penegakan hukum, dan sebagainya.
Lapangan kerja yang diinginkan publik, sebagaimana tecermin dalam jawaban responden, kata Arif, seperti di sektor industri manufaktur, jasa, industri pertanian, dan kehutanan. Memang, ia akui, penciptaan lapangan kerja di berbagai sektor ini menjadi tantangan pemerintahan Jokowi jilid II.
Ditanya apakah dengan angka persepsi responden yang kecil untuk sektor infrastruktur bisa diartikan sebagai responden tidak merasakan manfaat proyek tersebut, Arif membantah. Menurut dia, pemerintah saat ini tidak salah fokus. "Pembangunan infra struktur dibutuhkan di seluruh Indonesia, apalagi di pelosok. Infrastruktur juga prasyarat industrialisasi," kata Arif menjelaskan, Kamis (30/5). Ia percaya infrastruktur akan tetap menjadi fokus pemerintahan ke depan dan masuk program penting.
Arif memaparkan, pembangunan infrastruktur membawa manfaat jangka pendek, menengah, dan panjang. Efek nya memang bisa langsung dan tidak langsung. Seperti membuka lapangan kerja dan stabilisasi harga dari penu run an beban biaya logistik.
"Kalau dengan infrastruktur cost of logistic bisa turun, maka stabilisasi harga lebih mudah di kendaikan, akses market menjadi lebih mudah. Inilah tentu yang dirasa kan oleh masyarakat," kata politisi dari PDI Perjuangan ini.
Namun, menurut juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Suhendra Ratu Prawiranegara, memang terjadi kesenjangan dalam program infrastruktur pemerintah. Misalnya, kata dia memaparkan, pertumbuhan besarnya belanja infrastruktur pemerintah tidak langsung berpengaruh pada penyerapan angka tenaga kerja di sektor infrastruktur pula.
Adapun yang terjadi, klaim Suhendra, justru ada penurunan serapan tenaga kerja sektor infrastruktur itu sendiri. "Ini menjadi paradoks pemerintahan. Di satu sisi, infrastruktur butuh dana yang besar. Namun, di sisi lain, pembangunannya belum dirasakan maksimal oleh masyarakat," kata Suhendra menegaskan.