REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) asal dapil Aceh, Muslim Ayub, menegaskan, bahwa mencuatnya isu referendum Aceh tidak berkaitan dengan hasil Pilpres 2019. Menurutnya salah satu faktor penyebab referendum Aceh muncul adalah karena lemahnya implementasi Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Padahal undang-undang tersebut disahkan oleh pemerintah pusat bersama DPR RI.
"Rakyat Aceh itu masih kecewa dengan pemerintah pusat. Banyak Undang-undang nomor 11 tahun 2006 implementasinya tidak ada, sangat sedikit implementasinya yang dirasakan oleh rakyat Aceh," keluh Muslim saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (31/5).
Muslim mencontohkan, terkait tentang kehutanan, seperti Taman Nasional Gunung Leuser yang terletak di Aceh tapi justru kantornya berada di Medan. Kemudian tentang pertanahan, undang-undang Aceh mengatur tentang Badan Pertanahan negara tapi dinas badan pertanahan yang ada di Aceh tidak berfungsi.
"Jadi undang-undang pemerintah Aceh itu dikebiri. Kami merasa dibodohin itu," tegasnya.
Selain itu, juga mengenai pelabuhan bebas Sabang yang harus bebas melakukan perdagangan dengan negara lain, justru tidak ada kapal-kapal besar yang bersandar. Sehingga pelabuhan bebas itu, dianggapnya hanya kamuflase saja tidak ada yang bebas.
"Misalnya barang-barang mobil dan lainnya, dari Singapura atau Malaysia tidak bisa dibawa ke Aceh. Jadi apa yang bebas tidak ada yang bebas, itu kita anggap sebagai kamuflase saja," katanya.
Muslim melanjutkan, Perjanjian Helsinki merupakan cikal bakal lahir Undang-undang 11/2006 itu. Sebenarnya, menurutnya, Aceh sudah aman, sejahtera dan tidak akan melakukan apa-apa jika undang-undang tersebut diberikan sepenuhnya kepada rakyat Aceh.
Namun memang, kata Muslim, ada beberapa hal yang tidak bisa diatur oleh Aceh sendiri. Yaitu mengenai fiskal, mata uang, angkatan bersenjata dan terkait agama.
"Aceh itu boleh memiliki hubungan bilateral dengan negara, boleh memiliki perjanjian dagang dengan negara lain. Tapi nyatanya yang masih di batasi si oleh pemerintah pusat. Jadi inilah alasan Aceh meminta referendum," terang Muslim.
Selanjutnya, Muslim berharap agar pemerintah ke depannya, siapa pun presidennya harus memperhatikan betul apa yang dikeluhkan rakyat Aceh. Bukan justru, lanjut Muslim, beberapa pasal Undang-undang Aceh yang di-judical review oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga situasi ini juga dapat menambah kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat.
"Jika MK terus melakukan revisi terhadap undang-undang Aceh, lama-lama undang-undang pemerintah Aceh hanya simbol saja," tutur Muslim.
Sebelumnya, Mantan Panglima Gerekan Aceh Merdeka (GAM) yang saat ini menjabat sebagai ketua umum Komite Peralihan Aceh (KPA) dan sekaligus ketua umum Partai Aceh (PA), Muzakir Manaf menyerukan masyarakat Aceh melakukan referendum atau jajak pendapat. Pilihannya, mau tetap di Indonesia atau lepas dan jadi negara baru.
Seruan referendum itu dikatakan Muzakir Manaf alias Mualem dalam sambutannya pada peringatan kesembilan (3 Juni 2010-3 Juni 2019), wafatnya Wali Negara Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk. Muhammad Hasan Ditiro dan buka bersama di salah satu Gedung Amel Banda Aceh, Senin (27/5/2019) malam.
“Alhamudlillah, kita melihat saat ini, negara kita di Indonesia tak jelas soal keadilan dan demokrasi. Indonesia diambang kehancuran dari sisi apa saja. Itu sebabnya, maaf Pak Pangdam, ke depan Aceh kita minta referendum saja," ujar Mualem yang disambut tepuk tangan dan yel yel "Hidup Mualem".