REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menyebut operasi yustisi atau kependudukan tidak normal dilakukan karena hak warga tinggal dan beradu nasib di kota mana saja. Bahkan, Anies mengandaikan operasi yustisi dengan kebijakan apartheid.
"Ingat masa apartheid, dulu mungkin dianggap normal orang dibedakan berdasarkan warna kulit, ada masa itu dianggap normal, ada masa dulu memilah orang berdasarkan KTP itu dianggap normal, itu enggak normal," ujar Anies, Senin (3/6).
Pada praktiknya, Anies mengatakan, operasi yustisia yang selama ini dilakukan juga tidak adil kepada masyarakat karena sasarannya hanya pada kelas bawah. Menurutnya semua warga negara Indonesia tidak boleh dibedakan antara kaya miskin, tengah, atas atau bawah.
Ia mengatakan perlakuan terhadap warga harus berdasarkan prinsip keadilan dan kesetaraan. Anies mengatakan datangnya orang ke suatu kota, karena adanya lapangan pekerjaan.
"Kita yakin bahwa mekanisme pasar tenaga kerja akan terjadi, ketika di situ ada lapangan pekerjaan, orang akan mencari pekerjaan, ketika tidak ada lapangan pekerjaan dia akan mencari ke tempat lain yang ada lapangan pekerjaan," kata Gubernur.
Anies mengatakan semua warga negara Indonesia berhak untuk bergerak kemana saja selama mereka berada di wilayah Indonesia. Karena itu, ia menilai, aneh jika ada WNI yang tiba di terminal harus diperiksa dengan alasan bukan penduduk setempat.
Apalagi, sekarang terlihat pembangunan insfrastruktur yang bertujuan agar pusat pertumbuhan ekonomi ada di banyak tempat. "Kami percaya bahwa ke depan yang namanya pergerakan kota tetap terjadi urbanisasi, tapi belum tentu jakartanisasi, kalau dulu urbanisasinya itu ke jakarta kalau sekarang urbanisasi ke berbagai wilayah di seluruh Indonesia," katanya.
Ia menambahkan sekarang terlihat pembangunan insfrastruktur di mana-mana, yang bertujuan agar pusat pertumbuhan ekonomi ada di banyak tempat. "Kami percaya bahwa ke depan yang namanya pergerakan kota tetap terjadi urbanisasi, tapi belum tentu jakartanisasi, kalau dulu urbanisasinya itu ke jakarta kalau sekarang urbanisasi ke berbagai wilayah di seluruh Indonesia," katanya.
Menurut dia, pendatang baru di Ibu Kota tak akan menimbukan permasalahan baru. Ia menambahkan hal itu juga sudah terbukti pada 20018 lalu ketika Pemprov DKI tidak menggelar operasi kependudukan.
Anies mempersilakan kepada warga untuk lapor kalau datang ke DKI. Ia menambahkan saat ini Pemprov DKI tidak melakukan operasi penangkapan-penangkapan karena tidak perlu ada warga yang ditangkap.
"Tahun lalu tidak ada operasi yustisia juga dan ini sebenarnya menggambarkan perkembangan ekonomi. Kita berharap dengan ada pembangunan di banyak wilayah di Indonesia maka lapangan pekerjaan pun tersedia di banyak tempat," kata Anies.
Proyeksi 71 ribu pendatang
Pada tahun ini, Pemprov DKI Jakarta memproyeksikan ada sekitar 71 ribu pendatang baru ke Ibu Kota. Anies menerangkan, pendatang baru itu merupakan proyeksi selisih antara masyarakat yang melakukan mudik dan masyarakat yang datang ke Ibu Kota selama arus balik.
Anies mengatakan angka itu meningkat dibandingkan pada 2018 sebanyak 69.479 ribu orang. Ia menyebutkan jumlah pemudik tahun lalu sekitar 5.865.000 orang sedangkan saat arus balik lebih banyak menjadi sekitar 5.934.000.
Jumlah itu menurun 1,8 persen dibandingkan 2017 dengan jumlah pendatang baru mencapai 70.752 orang. Anies mengatakan jumlah pendatang baru pada arus balik 2019 meningkat karena bertepatan dengan lulusnya siswa yang hendak mencari kuliah serta lulusnya mahasiswa yang hendak mencari kerja.