REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada satu tradisi yang boleh jadi hanya ada di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Tradisi itu adalah azan pituatau azan tujuh. Tradisi ini lahir dari sebuah kejadian pada masa awal pembangunan masjid.
Pada suatu masa, konon di Masjid Agung Sang Cipta Rasa terjadi sebuah musibah yang menyebabkan tiga orang muazin tewas ber turut-turut secara misterius. Ketika itu memang mayoritas penduduk Cirebon belum memeluk Islam sehingga banyak penolakan atas dibangunnya masjid ini sebagai sarana penyebaran Islam di Cirebon dan Tanah Jawa umumnya. Salah satu aksi penolakan dilakukan melalui ilmu sihir yang diyakini menjadi penyebab wafatnya ketiga muazin ini.
Menyusul kejadian itu, para wali kemudian memohon petunjuk Allah SWT untuk mengusir kekuatan yang menolak kehadiran Islam di Cirebon. Atas petunjuk Allah SWT, Sunan Kalijaga lalu memberi titah untuk mengumandangkan azan yang dilakukan oleh tujuh (dalam bahasa Jawa, tujuh sama dengan pitu) orang secara serentak.
Saat azan pitu dilafazkan sebelum shalat Subuh, suara ledakan dahsyat terdengar dari bagian kubah masjid. Rupanya, seorang pendekar ilmu hitam, Menjangan Wulung, telah menyebar kekuatan gaib yang berasal dari makhluk halus di kubah masjid. Akibat kekuatan hitam itu, setiap muazin yang mengumandangkan azan akan meninggal. Konon, akibat ledakan itu, kubah masjid terlempar sampai Banten. Konon, hal itulah yang menyebabkan Masjid Agung Banten memiliki dua kubah.
Jika dahulu azan pitudikumandangkan saat shalat Subuh, saat ini azan pitu dikumandangkan hanya saat shalat Jumat. Tujuh muazin yang mengumandangkan azan pitu berbusana serbaputih.
Mereka adalah orang-orang pilihan yang biasanya masih keturunan muazin pitu sebelumnya. Azan pitu yang sudah diwariskan turun-temurun selama lebih dari 500 tahun itu kini menjadi “aset berharga” Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang tak ditemukan di masjid lain.