REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan telah memblokir sekitar 60 ribu akun Whatsapp pascaaksi 22 Mei 2019. Menanggapi hal ini, Pengamat Telematika dari ICT Institute Heru Sutadi menegaskan pemerintah harus transparan soal akun-akun yang ditutup tersebut.
"Pemerintah harus menjelaskan bagaimana mekanisme untuk menentukan akun yang ditutup, dan akun mana saja atau siapa saja yang ditutup," kata Heru pada Republika, Kamis (6/6).
Ia mengatakan, akun yang ditutup tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, Heru menuturkan mengintip pembicaraan tidak bisa dengan mudah diperbolehkan secara hukum yang berlaku.
Analisis yang dilakukan oleh Heru, penutupan medsos lebih didorong agar kekerasan yang terjadi pada 22 Mei tidak tersebar secara tak terkendali. "Jadi bukan juga karena akan jadi situs-situs berisi kekerasan. Situs berisi video kekerasan muncul karena medsos diblok sehinga semua video ditampung dalam satu dua situs sehingga bisa diakses seperti video kekerasan terhadap warga sipil di dekat sebuah masjid," kata Heru menjelaskan.
Ia mengatakan, cara menutupi medsos yang dilakukan kemarin kalau tujuannya tidak menciptakan martir memang terpenuhi. Tapi, pemblokiran tidak bisa menutup orang mendapat dan mencari informasi. Sebab, pada saat pemblokiran masyarakat kemudian berupaya sendiri menggunakan VPN.
Heru mengatakan, pemblokiran mungkin bisa menjadi jawaban sementara mengatasi peredaran hoaks. Namun, cara tersebut tidak bisa efektif mengatasi hoaks secara jangka panjang.
"Kita perlu mengintensifkan ke seluruh lapisan soal literasi berinternet khususnya bermedia sosial," kata dia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika terus memantau konten-konten di media sosial menjelang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tentang gugatan hasil pemilihan umum. Kendati begitu, belum ada konfirmasi mengenai pembatasan media sosial seperti bulan lalu
"Kami monitor terus. Kami berharap tidak ada eskalasi di dunia maya," kata Menkominfo Rudiantara saat ditemui di acara silaturahim Idul Fitri di kawasan Widya Chandra, Rabu (6/6).
Pemerintah sempat memberlakukan pembatasan akses ke sejumlah media sosial setelah kericuhan 22 Mei lalu. Pembatasan akses media sosial berlaku untuk unggahan dan unduhan konten foto dan video di beberapa platform media sosial selama 22-25 Mei.
Menurut Menkominfo, pada periode tersebut, ditemukan sekitar 600 hingga 700 URL baru setiap hari yang menyebarkan konten negatif. "Bukan hanya hoaks, kalau hoaks itu berita tidak benar. Tapi juga (konten) yang sifatnya adu domba," kata Rudiantara.