REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin, Arsul Sani, menilai silaturahim yang dilakukan kedua anak Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) beberapa hari terakhir jangan lantas dimaknai sebagai langkah koalisi. Ia mengatakan silaturahim itu bukan berarti Partai Demokrat pasti akan masuk ke dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
Menurutnya soal bergabungnya Partai Demokrat (PD) ke dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK) memerlukan pembicaraan yang lebih mendalam. "Di KIK belum dibicarakan soal kemungkinan bergabungnya PD, PAN, atau bahkan Gerindra. Jadi terlalu pagi menspekulasikan soal bertambahnya partai baru di KIK," kata Arsul kepada Republika.co.id, Ahad (9/5).
Arsul mengatakan salah satu syarat utama yang paling ditekankan kepada partai yang ingin bergabung ke dalam KIK adalah komitmen untuk mendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf pada lima tahun ke depan. Ia juga akan mengusulkan agar partai-partai yang ada dalam koalisi pemerintahan itu memiliki kode etik komunikasi publik.
"Mana yang bebas disuarakan di publik ketika berbeda dengan pemerintah, mana yang harus diselesaikan di dalam secara internal ketika berbeda," ujarnya.
Di sisi lain, Arsul menilai hal yang wajar adanya pendapat pengamat bahwa langkah yang dilakukan Partai Demokrat saat ini adalah untuk mempersiapkan AHY di Pilpres 2024 mendatang. "Karena itu, perlu dibuat kode etik sebagai aturan mainnya," katanya.
AHY dan Ibas beserta para istrinya menyempatkan diri bersilturahmi ke Istana Negara, Jakarta usai berziarah ke makam ibundanya Ani Yudhoyono pada hari pertama lebaran Rabu (5/6) lalu. Setelah itu, giliran kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Teuku Umar yang disambangi putra SBY itu.