REPUBLIKA.CO.ID, DOHA — Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman al-Thani mengatakan Arab Saudi telah membuat ketidakstabilan di Timur Tengah. Dalam sebuah pernyataan, ia juga menuding bahwa negara itu kerap menggunakan pemerasan, serta tekanan ekonomi untuk menekankan kekuasaannya secara otoriter.
Ucapan al-Thani datang beberapa pekan setelah Arab Saudi bersama dengan Uni Emirat Arab (UEA) dituding berada di balik sebuah gerakan rakyat di Sudan, Libya, dan Somalia. Ia juga mengungkapkan bahwa masalah antara Qatar dan sejumlah negara Teluk Arab selama dua tahun terakhir yang belum terselesaikan telah memicu perselisihan luas di seluruh wilayah Timur Tengah.
Pada awal Juni 2017, Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir melakukan blokade terhadap Qatar. Hal itu dilakukan dengan alasan Qatar dianggap merusak dan memperburuk stabilitas Timur Tengah, dengan menjadi pendukung kelompok teroris, termasuk Ikhwanul Muslimin.
Qatar juga disebut mendanai, merangkul terorisme, ektremisme, serta organisasi sektarian yang dianggap berbahaya untuk keamanan kawasan tersebut. Qatar dengan tegas membantah tuduhan-tuduhan tersebut. Terdapat dugaan bahwa kedekatan dengan Iran menimbulkan kekhawatiran dari empat negara Teluk Arab yang memutuskan blokade tersebut.
Menurut al-Thani, konflik yang terjadi antara Qatar dan negara-negara Teluk Arab tersebut pada akhirnya meluas di hampir seluruh wilayah Timur Tengah, termasuk di antaranya adalah Libya dan Somalia, yang diyakini hendak dijadikan target oleh Arab Saudi untuk memiliki rezim yang simpatik terhadap negara kerajaan tersebut.
“Qatar telah menerima banyak upaya yang dipimpin Arab Saudi dan UEA untuk memperburuk keadaan kami. Beberapa negara yang membutuhkan dukungan mereka bahkan telah diperas untuk mengikuti kebijakan yang sama terhadap Qatar,” ujar al-Thani dilansir The Guardian, Senin (10/6).
Al-Thani menuturkan bahwa hal itu menciptakan ketidakstabilan di wilayah Tanduk Afrika dan sub-Sahara. Ia mengatakan fokus utama Arab Saudi nampaknya adalah Afrika, di mana banyak negara di benua tersebut yang membutuhkan bantuan dan dukungan.
“Mereka mencoba semuanya, di berbagai tempat, dan berhasil di tingkat tertentu, namun beberapa gagal,” kata al-Thani menambahkan.
Al-Thani juga menilai bahwa kebijakan luar negeri yang dimiliki Arab Saudi dalam tiga tahun telah menghasilkan sesuatu yang tidak positif. Secara khusus, ia mengatakan dampak tersebut terhadap Libanon, Libya, dan Yaman.
Sementara itu, konflik antara Qatar dan Arab Saudi nampaknya akan menjadi salah satu hal yang dibahas dalam pertemuan antara Emir Qatar dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bulan depan. Menurut al-Thani, Qatar juga bersedia untuk bergabung dengan tim mediator yang berusaha mencegah konflik antara Iran.
Qatar memiliki kedekatan dengan AS dan memiliki pangkalan militer bagi tentara Negeri Paman Sam di negaranya. Namun, negara itu tidak setuju dengan kebijakan yang diterapkan pemerintahan Trump terhadap Iran, seiring dengan ketegangan yang meningkat dan menimbulkan potensi konfrontasi, membuat ancaman eksistensial ke wilayah tersebut.