REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menanggapi usulan pembubaran koalisi parpol nasional pendukung paslon capres-cawapres Pemilu 2019. Menurut Arief, pembubaran koalisi tersebut merupakan hak parpol yang tergabung dalam koalisi.
Dalam konteks sengketa hasil pilpres atau PHPU pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK), Arief menjelaskan, pihak yang memiliki kedudukan hukum atau legal standing, yakni peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Pada kontestasi pilpres, peserta pemilu adalah pasangan calon presiden-wakil presiden.
"Kan sengketa itu atas nama peserta pemilu. Nah, peserta pemilu itu kalau pilpres ya pasangan calon, kalau DPR, DPRD kan parpol. Mereka yang diberi legal standing untuk melakukan sengketa adalah peserta pemilu, bukan lain-lain, bukan parpol pengusung," kata Arief usai acara halalbihalal di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (10/6).
Sebelumnya, Wasekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik melalui akun Twitter-nya meminta apres nomor urut 01 Joko Widodo dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto membubarkan koalisi partai politik pendukungnya masing-masing. Menurut Rachland, pembubaran koalisi bisa menurunkan tensi politik di akar rumput pasca Pilpres 2019.
"Sekali lagi, Pak @jokowi dan Pak @prabowo, bertindaklah benar. Dalam situasi ini, perhatian utama perlu diberikan pada upaya menurunkan tensi politik darah tinggi di akar rumput," cuit Rachland, pada Ahad (10/6).
Menurut Rachland, peran partai koalisi tidak terlalu penting dalam proses sengketa hasil di MK sehingga pembubaran koalisi tidak akan berpengaruh terhadap sengketa hasil Pilpres di MK. "Membubarkan koalisi lebih cepat adalah resep yang patut dicoba. Gugatan di MK tak perlu peran partai. Siapa pun nanti yang setelah sidang MK menjadi Presiden terpilih, dipersilakan memilih sendiri para pembantunya di kabinet," lanjut dia.