REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alkisah, di masa lalu sebelum era keislaman, hidup dua orang saleh yang sangat wara. Mereka sangat jujur, amanah, dan tak mudah terperdaya oleh harta dunia. Keduanya pun kemudian dipertemukan dalam sebuah muamalah.
Suatu hari, dua pria saleh itu bertransaksi jual beli tanah. Seorang membeli sebidang lahan dari yang lain. Kesepakatan terjalin, keduanya pun bertransaksi, kemudian berpisah.
Beberapa hari berikutnya, pria yang membeli tanah mendatangi si penjual. Bukan untuk komplain tentang tanah yang ia beli, melainkan ia ingin memberikan seguci emas. Ada apa gerangan? Bukankah dia sudah membayar tunai tanah sesuai perjanjian jual beli.
Ternyata, si pembeli telah menemukan seguci emas itu terpendam di bahwa tanah yang ia beli. Saat menggalinya, emas-emas itu ditemukan. Ia pun bermaksud mengembalikan emas itu karena dipikirnya emas itu merupakan harta si pemilik tanah yang lupa tak diambil ketika menjual tanah.
“Ambillah emasmu, aku hanyalah membeli tanah darimu, bukan membeli emas,” ujar si pembeli kepada si pemilik tanah.
Namun, ternyata seguci emas itu bukan milik si penjual. Ia hanyalah pemilik tanah itu, bukan beserta emas di dalamnya. Ia pun baru tahu bahwa di bawah lahannya terpendam harta yang jumlahnya banyak.
Seperti halnya kejujuran si pembeli menemukan harta terpendam, si pemilik tanah pun berkata jujur bahwa dia bukan pemilik emas itu. Ia pun menyerahkan kembali emas itu pada si pembeli.
“Aku menjual tanah kepadamu beserta isinya,” ujar si pemilik tanah.
Inilah sikap orang saleh, mereka bukan berebut harta seperti kebanyakan orang. Keduanya justru saling menyerahkan harta itu karena takut itu bukanlah hak mereka. Kebingunan pun melanda mereka. Akhirnya, keduanya menemui seorang qadhi (hakim) untuk memutuskan perihal seguci emas itu.
Mendengar kisah keduanya, qadhi pun kebingungan. Tapi, ia takjub pada kedua orang saleh yang sama-sama berakhlak mulia. Qadhi pun seorang yang bijak, ia tidak mungkin sembrono memutuskan sesuatu. Ia kemudian berpikir keras untuk memecahkan masalah keduanya seadil-adilnya.
Sang qadhi pun kemudian menemukan sebuah solusi yang akan menyenangkan kedua pihak. Ia pun bertanya pada dua pria saleh itu, “Apakah kalian berdua memiliki anak?” Tanyanya.
Seorang berkata, “Saya memiliki seorang anak laki-laki,” ujarnya. Sementara, seorang yang lain berkata, “Saya memiliki seorang anak perempuan,” tuturnya. Maka, diputuskanlah perkara yang sangat agung. Qadhi berkata, “Nikahkanlah anak-anak kalian itu dan berilah mereka kecukupan dengan seguci emas ini. Bersedekahlah kalian dengan harta ini,” putus qadhi.
Giranglah keduanya dengan putusan tersebut. Kedua orang saleh itu sangat gembira akan menjadi besan. Maka, dilangsungkanlah pernikahan putra-putri dari bapak-bapak yang saleh. Anak-anak mereka pun pasangan yang pas, saleh dan salehah. Pasangan itu membangun rumah tangga dengan harta seguci emas itu. Kedua pria saleh itu pun gembira.
Kisah tersebut kurang lebih diambil berdasarkan kabar dari Rasulullah melalui hadisnya yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah. Derajat hadis pun shahih, sehingga kisah tersebut benar adanya pernah terjadi di masa lampau dengan Rasulullah sebagai pembawa kabar.
Dua pria saleh telah menjadi teladan bagaimana Muslimin bersikap wara. Mereka bersikap sangat hati-hati pada hal yang belum jelas halal dan haramnya. Tak jelas bagi mereka kehalalan seguci emas itu bagi mereka meski harta itu sangat menggiurkan. Mereka pun meninggalkan syubhat.
Dalam hadis arbain disebutkan, dari Nu'man bin Basyir, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, di antara keduanya terdapat perkara yang samar (syubhat) tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menghindari syubhat maka ia membersihkan dien dan kehormatannya. Barangiapa yang terjatuh ke dalam syubhat berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram…” hadis riwayat Bukhari dan Muslim.