Rabu 12 Jun 2019 05:20 WIB

Bank Dunia: Ekonomi Asia Timur dan Pasifik akan Melambat

Bank Dunia memproyeksikan perdagangan global mengalami pertumbuhan sedang

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Foto: pixabay
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik akan sedikit melemah. Yaitu menjadi 6,0 persen pada tahun 2019 dan 2020, turun dari 6,3 persen pada tahun 2018. Proyeksi ini dirilis dalam laporan World Bank East Asia and Pacific Economic Update edisi April 2019 dengan judul Managing Headwinds yang dirilis Selasa (11/6).

Proyeksi Bank Dunia mencerminkan tantangan global, di mana ketidakpastian kebijakan perdagangan akan terus terjadi meski sedikit berkurang. Di sisi lain, perdagangan global mengalami pertumbuhan sedang.

Baca Juga

Laporan Bank Dunia juga memperlihatkan, permintaan domestik tetap kuat di sebagian besar kawasan guna mengimbangi dampak perlambatan ekspor.

Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Victoria Kwakwa menjelaskan, pertumbuhan di kawasan Asia Timur dan Pasifi sepatutnya berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan lebih lanjut yang kini telah mencapai posisi terendah dalam sejarah. "Hingga tahun 2021, kami memperkirakan kemiskinan ekstrem akan turun di bawah tiga persen," katanya dalam rilis yang diterima Republika.

Namun, pada saat yang sama, setengah miliar penduduk di kawasan Asia Timur dan Pasifik tetap tidak aman secara ekonomi. Mereka berisiko kembali jatuh dalam kemiskinan mengingat besarnya tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan.

Dalam laporan Bank Dunia, salah satu negara yang mengalami perlambatan ekonomi adalah China. Proyeksi pertumbuhan di negara tersebut menjadi 6,2 persen pada 2019 dan 2020, turun dari 6,6 persen pada 2018.

Sementara itu, pertumbuhan di Indonesia dan Malaysia diproyeksikan tidak akan berubah pada tahun 2019. Sedangkan, tingkat pertumbuhan di Thailand dan Vietnam diperkirakan akan sedikit lebih rendah pada 2019.

Di Filipina, pertumbuhan ekonomi akan terhambat dengan penundaan pengesahan anggaran pemerintah nasional untuk tahun depan yang diperkirakan akan membebani pertumbuhan PDB. Tetapi, pertumbuhan diperkirakan akan meningkat pada 2020.

Prospek pertumbuhan ekonomi negara-negara lebih kecil di Asia Timur dan Pasifik tetap baik. Proyek infrastruktur besar diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan untuk Laos dan Mongolia.

Pertumbuhan Kamboja diproyeksikan akan tetap kuat, meskipun pada tingkat yang lebih lambat dibanding dengan 2018. Khususnya, karena permintaan eksternal yang lebih lemah dari perkiraan.

Kebijakan fiskal ekspansif diharapkan akan mendorong pertumbuhan di Myanmar dalam jangka pendek. Sementara, reformasi struktural baru-baru ini diharapkan akan mendukung pertumbuhan dalam jangka menengah.

Pertumbuhan diperkirakan akan meningkat di Papua Nugini pada 2019 sejalan dengan pulihnya ekonomi dari bencana gempa bumi pada 2018. Kondisi serupa juga terjadi di Fiji yang diproyeksikan akan terus meningkat. Hanya saja, tingkat kecepatannya sedang karena upaya rekonstruksi hampir selesai setelah terjadinya topan tropis beberapa waktu lalu.

World Bank Acting Chief Economist for the East Asia and Pacific Andrew Mason menuturkan, prospek ekonomi untuk Asia Timur dan Pasifik memang terbilang baik. Tapi, perlu diingat bahwa kawasan ini terus menghadapi tekanan yang meningkat sejak tahun 2018. "Ini masih bisa berdampak buruk," katanya.

Tantangan yang dimaksud Mason adalah berlanjutnya ketidakpastian akibat beberapa faktor. Di antaranya, perlambatan lebih lanjut di negara maju, kemungkinan perlambatan yang lebih cepat dari perkiraan di China dan ketegangan perdagangan yang belum terselesaikan.

Untuk menghadapi risiko yang terus-menerus ini, laporan Bank Dunia memberikan sejumlah solusi jangka pendek dan menengah. Dalam jangka pendek, perlunya penguatan penyangga termasuk membangun kembali cadangan internasional yang diambil untuk mengelola gejolak nilai tukar pada tahun 2018. Kebijakan moneter mungkin juga perlu disesuaikan agar lebih netral karena risiko arus keluar modal telah berkurang.

Laporan Bank Dunia juga menyoroti pentingnya reformasi struktural yang berkelanjutan dalam jangka menengah. Hal ini guna meningkatkan produktivitas, mendorong daya saing, menciptakan peluang yang lebih baik untuk sektor swasta, dan memperkuat modal manusia.

Peningkatan beberapa risiko juga menyoroti kebutuhan investasi berkelanjutan pada program bantuan sosial dan asuransi. Tujuannya, melindungi mereka yang paling rentan. Saat ini, negara-negara berkembang Asia Timur dan Pasifik memiliki cakupan bantuan sosial terendah bagi 20 persen penduduk termiskin dibandingkan wilayah berkembang lainnya.

Laporan Bank Dunia juga menekankan pentingnya negara-negara di Kepulauan Pasifik memastikan keberlanjutan utang dengan meningkatkan manajemen utang, kualitas belanja, dan membangun ruang fiskal.

Sementara utang publik mereka relatif rendah, faktor-faktor struktural menempatkan negara-negara di Kepulauan Pasifik pada risiko tinggi tekanan utang. Di antaranya, prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang sedang, kerentanan tinggi terhadap bencana alam, dan biaya tinggi untuk layanan publik dan infrastruktur.

Adinda Pryanka 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement