REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Media sosial (medsos) dengan berbagai fenomenanya terus menimbulkan kehebohan di masyarakat. Belum adanya aturan main yang tegas, menjadikan medsos tetap menjadi bola liar yang bergerak bebas dengan berbagai ekses, baik positif maupun negatif.
Medsos pula yang membuat proses pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) menjadi gaduh’dengan hoaks, adu domba, ujaran kebencian. Terakhir kasus bom bunuh diri di Pos Polisi Kartasura dua hari sebelum hari raya Idul Fitri, dimana pelakunya teradikalisasi secara daring.
“Radikalisasi secara online itu sebenarnya bukan fenomena baru. Dulu ada kasus Alam Sutra dan penyerangan gereja di Medan. Itu termasuk self radicalization,” ujar Staf Ahli Menkopolhukam Dr. Sri Yunanto di Jakarta, Selasa (11/6).
Selain itu, ungkap Yunanto, dalam banyak diskusi publik dan kejadian terorisme, juga terungkap keberadaan lone wolf (aksi terorisme yang dilakukan sendirian). Tapi, itu juga sulit dibilang lone wolf, karena bisa jadi mereka lebih dulu terkait jaringan JAD atau JAKD, baru kemudian terjadi radikalisasi melalui daring.
Menyikapi radikalisasi via daring atau medsos ini, lanjut Yunanto, pemerintah tidak bisa sendirian mengatasinya. Pasalnya, perkembangan media daring itu merupakan bagian dari kebebasan media melalui daring yang faktanya tidak hanya membawa pengaruh baik, tetapi juga pengaruh buruk seperti pornografi, perjudian, dan terorisme.
“Inilah masalahnya karena yang menanggung beban negatif itu pemerintah, sementara penyedia platform enak-enak saja. Seperti di Youtube, kalau tayangannya banyak dapat iklan pasti mereka untung, sementara kalau ada konten tentang radikalisasi ini mereka cuci tangan, baru pemerintah yang take down,” ungkap pakar Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia ini.
Ke depan, lanjut Yunanto, masalah ini harus jadi agenda bersama untuk mengatasinya. Pertama bagaimana mengatasi kebebasan medsos, yang kontrolnya di bawah pemerintah dengan tetap bekerja sama dengan provider penyedia platform.