REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum pengusaha Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, Maqdir Ismail melayangkan keberatan atas peneteapan kliennya sebagai sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Maqdir, KPK telah mengingkari perjanjian yang dibuat Pemerintah dengan warga negaranya.
"KPK telah mencederai komitmen pemerintah yang sah dan berkekuatan hukum dalam pemberian pembebasan dan pelepasan (Release and Discharge – R&D) kepada para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah menandatangani Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan telah memenuhi seluruh kewajibannya," ujarnya dalam keterangan tertulisanya, Selasa (11/6).
Menurut Maqdir, Sjamsul menandatangani MSAA untuk mengikuti permintaan pemerintah yang sedang berusaha keras mengatasi kesulitan dalam memulihkan ekonomi akibat krisis.
Diketahui, Sjamsul menandatangani MSAA pada 21 September 1998 kemudian memperoleh surat R&D pada 25 Mei 1999. Dengan penandatanganan itu, pemerintah berjanji untuk melepaskannya dari segala tuntutan hukum atau segala hak hukum apapun yang mungkin dimiliki Pemerintah.
"Berdasarkan prinsip hukum yang tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata, suatu perjanjian bersifat mengikat kedua belah pihak yang membuatnya, selayaknya undang-undang," tuturnya.
Dengan begitu, jelasnya, KPK tidak bisa mengabaikan perjanjian yang dibuat pemerintah, karena institusi tersebut adalah bagian dari pemerintah. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-XV/2017 tanggal 3 Februari 2018.
Menurutnya, KPK harus menghormati seluruh perjanjian yang sudah dibuat oleh Pemerintah secara sah dan dilindungi undang-undang maupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR).
"Kini KPK menetapkan SN dan IN sebagai tersangka karena dinilai merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun. Angka sebesar itu muncul dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017, yang prosesnya sangat aneh dan tidak memenuhi Standar Pemeriksaan Keuangan Negara," tuturnya.
Padahal, sambung dia, audit investigasi dilakukan atas permintaan KPK dan berdasarkan data-data yang disodorkan komisi tersebut. Tidak ada partisipasi auditee dan tidak ada konfirmasi ataupun klarifikasi kepada pihak-pihak terkait dalam MSAA.
"Pemberian SKL oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) hanyalah merupakan surat penegasan saja karena obligor telah menandatangani dan melaksanakan isi MSAA serta memperoleh R&D. Kerugian keuangan negara juga muncul akibat penjualan aset yang dilakukan oleh Pemerintah, dimana SN dan IN sama sekali tidak pernah mencampuri dan mengetahuinya," tegasnya.
Bahkan, lanjut dia, proses audit BPK 2017 itu sangat tidak lazim dan sama sekali tidak merujuk dan bahkan justru bertentangan dengan dua hasil audit sebelumnya oleh BPK yang saat ini sedang digugat oleh pihak SN di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah tak ambil pusing dengan pernyataan Maqdir. Menurutnya, sejauh ini, KPK belum menerima surat dari Sjamsul soal penunjukan Maqdir sebagai kuasa hukum. "Kami pandang, tidak terdapat hal baru dari penjelasan yang disampaikan oleh Dr Maqdir Ismail yang mengaku sebagai kuasa hukum SJN tersebut," ujar Febri.
Febri menuturkan, sebaiknya bantahan atau sanggahan dari kubu Sjamsul disampaikan saja secara langsung ke penyidik, agar keterangannya bisa diuji di proses persidangan nantinya.
"Karena saat ini status mereka sudah sebagai tersangka dalam penyidikan perkara korupsi yang dilakukan KPK. Hal itu tentu akan dihargai jika tersangka bersikap koperatif," tuturnya.
KPK baru saja menetapkan obligor Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka. Keduanya menjadi tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI).
"Setelah melakukan proses penyelidikan dan ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka KPK membuka penyidikan baru terhadap pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung KPK Jakarta, Senin (10/6).
Menurut Saut, penetapan tersangka pasangan suami istri yang telah menetap di Singapura ini berdasarkan hasil pengembangan perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung. Perbuatan Syafruddin diduga telah memperkaya Sjamsul dan Itjih sebanyak Rp4,58 triliun.