Rabu 12 Jun 2019 00:13 WIB

Menkeu: Ketegangan Perdagangan Internasional Masih Ada

Ketegangan ini menyebabkan pelemahan pertumbuhan global di paruh kedua.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kiri) dan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek (tengah) menyampaikan paparannya saat mengikuti rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2019).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kiri) dan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek (tengah) menyampaikan paparannya saat mengikuti rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui, ketegangan perdagangan internasional dari sisi retorika ataupun action masih dirasakan akibat kekisruhan dua negara ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat (AS) dengan Cina. Kondisi ini juga yang dibahas dalam pertemuan G20 di Jepang pada Sabtu (8/6) dan Ahad (9/6) lalu.

Bahkan, Sri menambahkan, kemungkinan seluruh negara melihat ada kecenderungan ketegangan yang lebih menguat. Hal ini dilihat dari beberapa poin, termasuk perbedaan upaya Cina dan AS dalam menyelesaikan permasalahan. "Sementara Cina menginginkan penyelesaian dilakukan multilateral, Amerika tetap inginkan bilateral," tuturnya saat ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa (11/6).

Sri menjelaskan, Cina menginginkan penyelesaian dilakukan dalam bentuk diskusi dalam rangka yang selama ini sudah ada. Tapi, di sisi lain, Amerika Serikat (A) tetap menggunakan bilateral. Kondisi ini menyebabkan harapan agar kedua pihak untuk menemukan kesepahaman dalam sisi pemikiran policy masih jauh dari realisasi. 

Selain itu, Sri mengatakan, Cina menganggap bahwa mereka telah melakukan apa yang sudah diminta AS selama ini. "Namun dari AS menganggap belum cukup," ujarnya. 

Dengan kondisi yang ada, Sri menuturkan, pembahasan G20 menilainya sebagai risiko global. Sejumlah lembaga ekonomi internasional juga menyebutkan, adanya risiko downside risk yang terealisasi tahun ini. Di antaranya International Monetary Fund (IMF), OECD dan Bank Dunia yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia. 

Poin yang harus diwaspadai adalah perlemahan volume perdagangan internasional. Bahkan, ini mungkin menjadi poin terendah semenjak krisis ekonomi 2008, yakni hanya tumbuh 2,6 persen. 

Selama ini, ekonomi dunia tumbuh sehat dengan pertumbuhan perdagangan internasional dua kali lebih tinggi dari pertumbuhan dunia. "Kalau pertumbuhan dunia saat ini  3,3 persen, dulu (pertumbuhan perdagangan) bisa mencapai di atas lima atau bahkan enam, sekarang itu hanya tumbuh 2,6 persen," ucap Sri. 

Artinya, Sri melihat, Indonesia akan kembali menghadapi tantangan dari perlemahan pertumbuhan global di paruh kedua yang menjadi sangat nyata.

Tidak hanya Indonesia, hal ini juga dirasakan oleh AS sendiri, sehingga mereka akan melakukan berbagai upaya, terutama dengan lebih terbuka dari sisi direction. Di antaranya dengan tidak menaikkan suku bunga acuan bunga bank sentral AS The Fed. "Untuk Indonesia, mix policy harus diperbaharui dengan development ini," ujar Sri. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement