REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHK LKPP) 2018 mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Tapi, BPK juga mencatat beberapa permasalahan yang harus diselesaikan pemerintah pusat, terutama terkait dengan pengendalian internal.
Anggota II BPK Agus Joko Pramono menuturkan, salah satu permasalahannya terletak pada Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LK BUN). “Antara lain, berupa permasalahan skema pengalokasian anggaran realisasi pengadaan tanah Proyek Strategis Nasional (PSN),” ujarnya di Auditorium BPK, Rabu (12/6).
Selain itu, permasalahan di LK BUN adalah monitoring evaluasi aset kontraktor kerja sama, Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara (PKP2B) dan permasalahan pengajuan kewajiban atas program pensiun Pegawai Negeri Sipil. Menurut Agus ini sudah menjadi catatan selama beberapa kali pemeriksaan.
Permasalahan berikutnya adalah pada Kementerian Keuangan. Yakni, berupa penatausahaan piutang perpajakan, penetapan tarif bea keluar pada PT Freeport Indonesia dan permasalahan penanganan bea anti dumping.
Selain itu, Agus menambahkan, terdapat ketidakjelasan proses hibah aset berupa gedung bangunan pasar dan peralatan mesin yang berasal dari dana tugas pembantuan. Permasalahan ini ditemui pada Kementerian Perdagangan.
Agus menjelaskan, seharusnya, barang yang sudah dihibahkan terjadi pengurangan nilai. Tapi, karena ada anggarannya tiap tahun, permasalahan muncul terus setiap tahun. “Sekarang, kami rekomendasikan agar internal control pada proses pemberian hibah ini dilakukan di awal,” ucapnya.
Permasalahan berikutnya juga terjadi di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM), yakni pada lembaga layanan pemasaran yang belum menagih pendapatan dari biaya sewa dan bagi hasil serta uang jaminan.
Kemudian, Agus menambahkan, terdapat permasalahan perencanaan pelaksanaan dan pembayaran pekerjaan yang belum sesuai ketentuan. Poin ini terdapat dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS).
Di Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), permasalahan ditemukan pada pembayaran honorarium yang tidak sesuai dengan ketentuan. Selain itu, pengelolaan belanja pemeliharaan pada satuan kerja Millennium Challenge Compact yang belum memadai.
Permasalahan berikutnya terjadi pada Kementerian Perindustrian, yaitu dalam pelaksanaan pertanggungjawaban kegiatan di Pusdiklat industri. Permasalahan belum selesainya proses hibah juga dialami di kementerian ini.
Agus menuturkan, permasalahan lain yang terdapat pada beberapa kementerian negara lembaga secara sekaligus yaitu permasalahan terkait dengan pengelolaan kas, persediaan aset tidak berwujud serta PNBP.
Meski ada beberapa masalah ini, BPK tetap memberikan predikat WTP. Sebab, menurut Agus, BPK menilai bahwa permasalahan ini dinilai tidak memberikan dampak terhadap angka di laporan keuangan. “Tapi, apabila tidak diatasi atau dieliminasi, dapat menyebabkan kemungkinan ke depan akan terdeliberasi,” ujarnya.