REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah melanglang buana ke sembilan negara dan 18 tahun telah berlalu, I La Galigo kembali hadir di Indonesia. Pertunjukan teater yang terinspirasi sastra klasik Sulawesi Selatan, Sureq La Galigo, itu akan dipentaskan di Ciputra Artpreneur Jakarta pada 3, 5, 6 dan 7 Juli mendatang.
"Dulu, I La Galigo pernah dipentaskan di TMII dan Bali," kata Restu Kusumaningrum, Ketua Yayasan Bali Purnati dan Direktur Artistik I La Galigo.
Mulai dari tahun 2001, pihaknya mempelajari naskah tua yang dianggap sakral dalam budaya Bugis tersebut, sekaligus mendalami budaya Sulawesi Selatan. Setelah tiga tahun, akhirnya pada 2004, pementasan pertama I La Galigo digelar di Esplanade, Singapura.
Sejak pentas perdana itu, lakon ini terus menuai pujian saat digelar di kota-kota besar dunia, seperti Lincoln Center Festival di New York, Het Muziektheater di Amsterdam, Fòrum Universal de les Cultures di Barcelona, dan Les Nuits de Fourvière di Prancis. Naskah itu juga pernah dipentaskan di Ravenna Festival di Italy, Metropolitan Hall for Taipei Arts Festival di Taipei, Melbourne International Arts Festival di Melbourne, dan Teatro Arcimboldi di Milan, sebelum kembali ke Makassar untuk dipentaskan di Benteng Rotterdam.
Dua seniman melakukan pementasan teater 'I La Galigo' di Benteng Rotterdam Makassar, Sulsel, beberapa waktu lalu.
I La Galigo juga terpilih sebagai pementasan khusus berkelas dunia pada saat Annual Meetings IMF-World Bank Group 2018 di Bali. The New York Times pun tak segan menyebutnya "stunningly beautiful music-theater work" ketika I La Galigo menjadi pembuka pada Lincoln Center Festival 2005.
I La Galigo adalah sebuah pementasan musik-teater yang naskahnya
diadaptasi dari Sureq La Galigo, wiracarita mitos penciptaan suku Bugis abad 13 dan 15 yang terabadikan lewat tradisi lisan dan naskah-naskah, dan kemudian dituliskan dalam bentuk syair menggunakan bahasa Bugis dan huruf Bugis kuno.
Naskah La Galigo di Museum La Galigo kawasan benteng Fort Rotterdam, Makassar.
Dalam adaptasi naskah panggung ini, Sureq La Galigo menjadi dasar dari sebuah kisah yang menggambarkan petualangan perjalanan, peperangan, kisah cinta terlarang, pernikahan, dan pengkhianatan. Elemen-elemen ini dirangkai menjadi cerita besar yang menarik, dinamis, dan ternyata masih memiliki relevansi dengan kehidupan modern zaman sekarang.
Karya musik-teater I La Galigo bercerita melalui tarian, gerak tubuh, soundscape, dan penataan musik gubahan maestro musik Rahayu Supanggah di bawah penyutradaraan salah satu sutradara teater kontemporer terbaik dunia saat ini, Robert Wilson. Pertunjukan yang berdurasi dua jam ini akan amat memukau karena tata cahaya dan tata panggung yang spektakuler.
Untuk menciptakan ekspresi yang lebih dramatis, sebanyak 70 instrumen musik, mulai dari instrumen tradisional Sulawesi, Jawa, dan Bali akan dimainkan 12 musisi untuk mengiringi pertunjukan ini. Penataan bunyi dan musik ini merupakan sebuah hasil karya dan hasil kerja intensif melalui riset yang tidak main-main dari komposer Rahayu Supanggah.
Untuk penampilan di Jakarta, tidak akan ada yang diubah dalam pementasan I La Galigo yang dicap sebagai pertunjukan kelas dunia. Menurut Restu, I La Galigo sulit dibawa di Jakarta karena kendala biaya angkut properti yang sangat mahal.
"Properti hampir empat ton parkir di Milan, Italia," ungkap Restu.
Sempat mendapat dukungan pemerintah, properti pertunjukkan dengan kapasitas tidak kurang dari empat kontainer itu akhirnya bisa dibawa ke Bali pada tahun lalu. Untuk pentas di Jakarta kali ini, properti dibawa menggunakan truk untuk sampai di Jakarta.