REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo optimistis, prospek ekonomi dalam negeri pada 2020 akan membaik. Pertumbuhan ekonomi tahun depan diproyeksikan berada di kisaran 5,1 hingga 5,5 persen atau lebih tinggi dibanding dengan perkiraan tahun ini, yakni antara 5,0 hingga 5,4 persen.
Perry menjelaskan, prospek tersebut ditopang oleh permintaan domestik yang meningkat. Dari sisi ini, konsumsi yang diperkirakan masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap tumbuh tinggi.
"Selain itu, investasi swasta juga diperkirakan cukup meningkat," ujarnya dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR di gedung DPR, Jakarta, Kamis (13/6).
Prospek ekonomi domestik yang membaik juga ditopang oleh perbaikan efisiensi dan produktivitas perekonomian Indonesia. Perry menuturkan, kondisi ini seiring dengan dampak positif dari berbagai kebijakan reformasi struktural, seperti infrastruktur maupun kebijakan lain yang ditempuh pemerintah.
Di sisi lain, Perry menambahkan, prospek ekspor juga membaik. Hal ini sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang meningkat dan perbaikan harga komoditas.
Selain itu, perbaikan juga terjadi di nilai tukar rupiah. BI memperkirakan, pada 2020, prospek penguatan neraca pembayaran akan terus berlanjut. "Defisit neraca transaksi berjalan juga terkendali pada 2,5 hingga tiga persen dari PDB," ucapnya.
Kondisi tersebut ditopang oleh situasi ekonomi global yang membaik, sehingga mendukung kinerja ekspor Indonesia. Selain itu, kebijakan yang terus dilakukan BI dan pemerintah untuk menurunkan defisit transaksi berjalan, termasuk penguatan kinerja investasi, ekspor dan sektor pariwisata.
Aliran modal asing juga diperkirakan Perry akan terus berlanjut sejalan dengan prospek perekonomian yang membaik dan upaya pemerintah untuk terus mendorong investasi. "Dengan berbagai faktor tersebut, kami perkiraan bahwa rata rata nilai tukar pada 2020 ada di kisaran Rp 13.900 sampai Rp 14.300 per dolar AS," katanya.
Prospek nilai tukar ini juga didorong berbagai upaya yang terus dilakukan BI di pasar keuangan, khususnya pasar valuta asing. Termasuk dengan Domestic Non Delivery Forward (DNDF), kebijakan BI untuk memperkuat stabiltias nilai tukar rupiah dan memeprcepat pendalaman pasar valuta asing domestik.
Perry mengakui, perekonomian global yang kini masih serba tidak pasti berdampak pada sisi eksternal ekonomi Indonesia. "Tapi, bauran kebijakan BI dan sinergitas kuat dengan kebijakan pemerintah mampu menjaga stabilitas perekonomian dari dampak negatif ekonomi global," ujarnya.
Hal tersebut terefleksi pada neraca pembayaran Indonesia pada kuartal pertama 2019 yang mencatatkan surplus 2,4 miliar dolar AS. Kondisi ini terutama karena berlanjutnya aliran modal asing yang mencatat surplus 10,1 miliar dolar AS.
Sementara itu, Perry mengatakan, defisit transaksi berjalan juga terkendali pada 7 miliar dolar AS atau 2,6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Kinerja ini sudah terjadi sejak kuartal terakhir tahun lalu, menunjukkan berikan dalam kinerja sektor eksternal Indonesia.
Menurut Perry, stabilitas eksternal ekonomi juga tecermin dalam perkembangan nilai tukar rupiah yang terkendali. BI mencatat, nilai tukar rupiah sampai dengan Rabu (12/6) adalah Rp 14.235 per dolar AS atau menguat 1,02 persen dibanding dengan tingkat akhir 2018, Rp 14.280 per dolar AS.
Dengan perkembangan tersebut, rata-rata nilai tukar rupiah 2019 diperkirakan mencapai Rp 14.188 per dolar AS. “Atau menguat 0,41 persen dibandingkan rerata 2018 yang tercatat Rp 14.246 per dolar AS,” kata Perry.
Ke depan, Perry memperkirakan, kondisi eksternal akan terus membaik. Di antaranya, neraca pembayaran hingga akhir tahun 2019 akan mencatatkan surplus sejalan dengan prospek aliran masuk modal asing yang terus berlanjut.
Defisit transaksi berjalan juga diperkirakan lebih rendah dari 2018, yakni 2,98 persen. "Dengan kondisi tersebut, BI memperkirakan, rata-rata nilai tukar rupiah 2019 di kisaran Rp 14.000-Rp 14.400 per dolar AS," tuturnya.