REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Allah SWT menganugerahkan banyak kenikmatan kepada setiap umat manusia. Terkadang kita sebagai manusia belum merasa puas atas karunia tersebut. Seandainya kita menyadari betapa besar nikmat yang diberikan itu, niscaya kita mengakui bahwa kemampuan melihat, mendengar, menggerakan tangan, dan melangkahkan kedua kaki adalah bagian dari nikmat tak terhingga itu.
Alangkah lebih baiknya kita mengambil sari hikmah dari kisah yang dinukilkan dari buku Cermin Hati: Satu Akhlak Al-Kharimah Sejuta Hikmah tetang malaikat Jibril, kerbau, kelelawar, dan cacing.
Ketika itu, Allah SWT memerintahkan malaikat Jibril turun ke bumi dan menemui salah satu makhluknya. Malaikat Jibril pun langsung turun ke bumi. Yang ditemui malaikat Jibril bukan dari golongan manusia, melainkan makhluk Allah dari golongan hewan, yakni kerbau.
Malaikat Jibril diperintahkan Allah bertanya kepada seekor kerbau. Apakah kerbau itu sudah senang telah diciptakan Allah dengan keadaan sekarang ini. Atas kehendak Allah, pada saat itu semua mahkluk yang Allah ciptakan dapat berdialog satu dengan yang lainnya sehingga Jibril tidak kesulitan menggali jawaban atas permintaan-Nya.
Ketika itu sinar matahari di bumi cukup terik. Siapa pun tidak akan mampu bertahan lama-lama dari terik matahari itu. Sehingga, tidak heran semua makhluk yang ada di bumi bersembunyi menghindari teriknya sinar matahari.
Begitu pun dengan kerbau yang ditemui malaikat Jibril. Dia sedang asyik menenggelamkan badannya di kolam yang airnya sedikit, tapi penuh dengan lumpur. Itulah cara kerbau menghindari teriknya sinar matahari siang itu. Malaikat Jibril mendekati kerbau yang sedang santai berendam itu.
"Hai kerbau. Apakah engkau senang telah dijadikan Allah SWT menjadi seekor kerbau dengan bentuk rupa dan tubuh seperti sekarang ini?"
Melihat kedatangan malaikat Jibril, si kerbau tidak terkejut malah dia bertanya apa yang diperintahkan Allah untuk dirinya. Setelah mendengar pertanyaan malaikat Jibril tadi, dugaan tentang ada perintah baru dari Sang Pencipta langit dan bumi terhapus sudah.
Dengan lugas dan penuh keceriaan kerbau pun menjawab pertanyaan malaikat Jibril tadi.
"Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah SWT, yang telah menjadikan aku sebagai seekor kerbau, bukan sebagai seekor kelelawar yang mandi dengan air seninya sendiri."
Mendengar jawaban itu, malaikat Jibril pun bergegas pergi dan mencari seekor kelelawar untuk mengkonfrontasi apa yang telah disampaikan si kerbau. Apakah dengan keadaan sekarang ini kelelawar senang. Malaikat Jibril pun akhirnya menemui kelelawar yang sedang tertidur sambil bergelantungan.
Tanpa banyak berbasa-basi, malaikat Jibril pun bertanya kepada kelelawar. Pertanyaannya sama seperti yang telah disampaikan kepada kerbau sebelumnya. "Hai kelelawar, apakah engkau senang telah Allah jadikan seekor kelelawar?" kata Jibril.
Mendengar pertanyaan yang di dalamnya ada kalimat Allah, kelelawar yang sedang terkantuk-kantuk seketika langsung ceria seolah mendapat nutrisi pada tubuh yang sedang kelelahan.
Dengan tegas kelelawar pun menjawab. "Masya Allah, alhamdulilah saya bersyukur kepada Allah telah dijadikan seperti sekarang ini, bukan jadi seekor cacing yang tinggal di dalam tanah.
Dia cacing untuk berjalan saja menggunakan perutnya. Sekarang ini aku sudah lebih baik dari dia (cacing)," tuturnya tanpa bermaksud merendahkan keadaan cacing yang sama-sama ciptaan Allah.
Mendengar jawaban itu, Jibril pun kembali bergegas mencari seekor cacing. Jibril juga akan bertanya tentang keadaan yang lemah seperti yang telah disampaikan kelelawar tadi.
Jibril bertemu dengan cacing yang sedang merayap-rayap di tanah tepat di atas tanah yang banyak kotoran kelelawar.
Jibril langsung bertanya kepada cacing yang sedang sibuk makan. "Hai cacing, apakah kamu senang telah Allah jadikan seekor cacing?"
Cacing menjawab. "Masya Allah, alhamdulilah aku bersyukur telah Allah jadikan seekor cacing bukan jadi manusia. Karena manusia yang apabila tidak beriman ketika matinya dia akan mendapatkan siksa selama-lamanya."
Melihat ke bawah
Kisah dialog Jibril dengan seekor kerbau, kelelawar, dan cacing patut menjadi bahan renungan kita sebagai manusia yang telah Allah ciptakan begitu sempurna dibandingkan dengan mahkluk lainnya yang ada di bumi.
Jika di antara kita masih ada yang tidak pandai bersyukur, derajatnya bisa jadi tak lebih rendah daripada hewan-hewan yang berdialog dengan malaikat Jibril.
Di dalam diri orang yang tidak pandai bersyukur tertanam sifat selalu merasa kurang dan selalu ingin lebih dari orang lain agar tidak tersaingi. Orang yang tidak bersyukur selalu membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Padahal, apa yang telah ada dalam diri kita, baik itu kekurangan maupun kelebihan, patut kita syukuri.
Bukan suatu hal yang mustahil kekurangan yang kita miliki akan menjadi kelebihan baru jika kita pandai bersyukur. Begitulah Allah menciptakan manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hidup kita tidak akan pernah tenang jika tidak bersyukur dan selalu membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain.
Tokoh sufi terkemuka abad ke-2 Hijriyah, Abu Bakar as-Syibli, pernah mengatakan, "Sesungguhnya rasa syukur adalah melihat kepada siapa yang memberi nikmat, bukan kenikmatan yang diterimanya."