REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU), mempertanyakan dasar perolehan suara capres-cawapres Prabowo-Sandiaga Uno sebesar 52 persen. Perolehan suara ini diungkapkan oleh tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga Uno dalam sidang perdana sengketa perselisihan hasil pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (14/6).
"Petitum itu kan permohonan, maka boleh-boleh saja, tapi pertanyaannya atas dasar apa? (petitum yang disampaikan)," ujar Hasyim di Gedung MK, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat.
Dalam persidangan, kuasa hukum Prabowo-Sandiaga Uno menyebut ada 22.034.193 data pemilih siluman yang dimanfaatkan untuk menggelembungkan suara paslon 01. 22 juta data siluman itu berasal dari 17,5 juta data pemilih tak wajar yang sudah sempat dipermasalahkan pihak Prabowo sebelumnya, kemudian ditambah 5,7 juta data pemilih dalam daftar pemilih kusus (DPK) yang ditambahkan pada saat hari H pemungutan suara.
Kubu Prabowo menilai, perolehan suara Pilpres 2019 yang benar yakni paslon Jokowi-Ma'ruf Amin meraih 63.573.169 suara (48 persen) dan paslon Prabowo-Sandiaga Uno meraih 68.650.239 suara (52 persen). Prabowo juga menuntut MK memerintahkan KPU untuk menetapkan dirinya sebagai calom presiden terpilih.
Menanggapi hal itu, Hasyim meminta pohak Prabowo membeberkan dengan jelas dan detail terkait perselisihan suara tersebut. Termasuk, di mana penggelembungan suara itu terjadi dan berapa pastinya jumlah suara yang digelembungkan.
"Itu selisih suaranya di mana? Apakah di rekap provinsi? Atau tingkat rekapitulasi kabupaten kota? Atau di TPS? Kalau TPS, TPS mana? Itu juga dalam pandangan kami setelah kami buka belum jelas juga locus atau tempat kejadian dimana," kata Hasyim.
Secara umum, Hasyim mempersilakan kubu Prabowo mendalilkan apa saja dalam petitumnya. Namun, yang terpenting adalah pembuktianya.
"Tapi kalau banyak dalil, tapi tidak bisa membuktikan kan konyol," tuturnya.