REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyedia platform media sosial (medsos) seperti Youtube, Facebook, Whatsapp, dan lain-lain, harus ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya radikalisasi via medsos. Selama ini, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah melakukan berbagai cara untuk membendung masalah ini, namun langkah itu tidak cukup efektif tanpa adanya filter dari penyedia platform, konten-konten radikal terorisme masih berkeliaran bebas di medsos.
“Penyedia medsos ini juga perlu ikut bertanggung jawab. Mereka seharusnya bisa memfilter sebelum konten radikal tersebut tersebar ke masyarakat. Apalagi masalah terorisme ini termasuk dalam katagori extraordinary crime,” ujar Pengamat Intelijen dan Terorisme, Dr Wawan Hari Purwanto, di Jakarta, Kamis (13/6).
Menurutnya, radikalisasi via daring melalui medsos sudah menjadi ancaman nyata dan sangat serius sehingga perlu diwaspadai. Karena bagi kelompok radikal terorisme ini media social merupakan sebuah sarana yang efektif digunakan untuk merekrut dan melakukan indoktrinasi karena jangkauan yang luas.
“Dari beberapa kasus banyak pihak terpapar melalui medsos. Bai’at yang mereka (kelompok teroris) sekarang juga sudah via medsos. Bahkan mereka juga bisa melakukan tanya jawab jika mereka mengalami kesulitan dalam membuat bahan peledak. Sehingga rekrutmen sekarang ini tidak perlu tatap muka lagi,” ungkap Wawan.
Lebih lanjut Wawan mengatakan, dalam pengamatannya sejauh ini pergerakan kelompok-kelompok radikal seperti Jamaah Ansyorut Daulah (JAD) yang sudah dibubarkan oleh pemerintah itu masih eksis untuk menyebarkan paham radikal melalui medsos.