Ahad 16 Jun 2019 11:45 WIB

Ganti Puasa atau Puasa Syawal, Mana Didahulukan?

Lebih baik mendahulukan qadha Ramadhan sebelum berpuasa sunat Syawal.

Foto: republika
Ganti puasa Ramadhan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Berpuasa enam hari di sepanjang Syawwal, adalah salah satu sunah Rasulullah SAW yang utama. Dalam hadis riwayat Muslim dan sejumlah imam pengarang Kitab Sunan dari Abu Ayyub al-Anshari disebutkan, bahwa keutamaan berpuasa enam hari tersebut, akan menyempurnakan puasa Ramadhan.

Fadilahnya, seperti berpuasa satu tahun penuh. Muncul pertanyaan, bolehkah melaksanakan puasa sunat Syawal itu, sementara puasa qadha yang wajib belum ditunaikan?

Guru Besar Fikih Universitas Qassim Arab Saudi, Khalid bin Abdullah al-Mushlih mengatakan lebih baik mendahulukan qadha Ramadhan sebelum berpuasa sunat Syawal.  Berikut tiga pendapat tentang mana yang harus didahulukan qadha puasa atau enam hari sunat Syawal?

·        Mayoritas Ulama: Tak jadi soal berpuasa sunat Syawal sebelum membayar puasa Ramadhan. Kendati dalam kubu ini ada yang mengatakan boleh secara mutlak atau boleh dengan disertai makruh.

·        Mazhab Hanafi: Qadha puasa tidak mesti dibayar secara langsung usai Ramadhan. Waktu pelaksanaannya cukup luas. Karena itu, mazhab yang berafiliasi pada Imam Abu Hanifah tersebut membolehkannya mutlak. Ini juga merupakan salah satu riwayat pendapat dari Ahmad.

·        Mazhab Maliki dan Syafi’i: Boleh puasa sunat Syawal dulu meski tidak berlaku mutlak. Ada unsur makruh di sana. Ini lantaran berpuasa sunat Syawal berdampak pada kesibukan menjalankan ibadah sunat, sementara puasa qadha tertunda.

Pengolah: Nashih Nashrullah, Sumber: Al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’at

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement