REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden pejawat Joko Widodo (Jokowi) mengaku siap mengambil keputusan dan kebijakan yang 'gila' dalam kepemimpinannya di periode kedua nanti. Menurutnya, kebijakan yang gila tersebut akan diambil selama memiliki manfaat besar bagi masyarakat dan berpihak pada rakyat.
Mantan gubernur DKI Jakarta ini mengaku, kesiapannya dalam mengambil keputusan tak populis berlatar tidak adanya beban politik setelah ia rampung menjabat presiden nanti. "Saya dalam lima tahun ke depan insya Allah sudah tidak memiliki beban apa-apa. Jadi keputusan-keputusan yang gila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini, akan kita kerjakan. Lagi karena saya sudah tidak memiliki beban apa-apa," kata Jokowi di hadapan aktivis 1998 dalam rembuk nasional di Hotel Sahid, Ahad (16/6).
Ia pun meminta pada aktivis 1998 yang dulu memiliki peran dalam menggulirkan reformasi untuk kembali mengambil tugas dalam mengevaluasi dan mengoreksi pemerintahan saat ini. Jokowi lagi-lagi mengaku tidak keberatan untuk dikoreksi karena ia merasa tak memiliki beban.
Dalam kesempatan yang sama, Jokowi juga memberi sinyal untuk mengisi jabatan menteri di kabinetnya nanti dari Kalangan aktivis 1998. Ia melihat bahwa tak sedikit mantan aktivis reformasi yang kini sudah menduduki jabatan penting baik di pemerintahan, parlemen, hingga perusahaan. Namun, lanjutnya, kalangan aktivis '98 belum ada yang mengisi posisi menteri.
"Bisa saja, kenapa tidak dengan kemampuan yang ada. Misalnya tidak hanya di menteri, bisa saja di duta besar. Bisa saja di BUMN tetapi selagi saya selalu melihat bahwa yang bersangkutan memiliki kapasitas dan syarat yang sering saya sampaikan," jelas Presiden.
Meski menolak untuk menyebut nama atau inisial kandidat kuat dari kalangan aktivis '98, Jokowi menegaskan posisi menteri harus diisi oleh pemimpin yang memiliki karakter kuat dalam mengeksekusi kebijakan. Jokowi tetap enggan menyebut "nama" meski para hadiri terus meneriakkan nama Adian Napitupulu, politikus PDI Perjuangan yang juga mantan aktivis 98. N Sapto Andika Candra
Saudi menyatakan bahwa serangan terhadap empat kapal tanker tersebut mempengaruhi keselamatan navigasi internasional dan keamanan pasokan minyak dunia. Oleh sebab itu, peristiwa tersebut membutuhkan respons dari Dewan Keamanan PBB.