Ahad 16 Jun 2019 21:05 WIB

KPNAS Soroti Dugaan Impor Sampah Berkedok Impor Kertas

Sampah impor diduga ikut mencemari daerah aliran sungai Cibeet, Karawang

Rep: Imas Damayanti/ Red: Hasanul Rizqa
(Ilustrasi) Seorang warga memilah sampah plastik yang menumpuk di bibir pantai Muara Angke, Jakarta Utara, Senin (30/1). Kondisi penumpukan sampah yang tak terkendali tersebut menyebabkant air laut menjadi tercemar yang berdampak buruk bagi lingkungan.
Foto: Antara
(Ilustrasi) Seorang warga memilah sampah plastik yang menumpuk di bibir pantai Muara Angke, Jakarta Utara, Senin (30/1). Kondisi penumpukan sampah yang tak terkendali tersebut menyebabkant air laut menjadi tercemar yang berdampak buruk bagi lingkungan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNAS), Bagong Suyoto mengungkapkan, praktik impor sampah ke Indonesia dilakukan melalui cara-cara yang beragam. Salah satunya, menggunakan modus impor kertas. Padahal, di dalamnya kertas yang didatangkan dari luar negeri itu berisi sampah dan logam.

Menurut catatan Bagong Suyoto, sejak tahun 1982, kalangan pemulung dan aktivis lingkungan sudah gencar melakukan protes terkait praktik impor sampah. Mereka mendatangi DPR, tetapi upaya tersebut kurang membuahkan hasil.

Baca Juga

Menurut Suyoto, pengeluaran izin oleh pemerintah dengan modus penyediaan bahan baku kerap diwarnai pelanggaran. Adapun pelanggaran yang dimaksud, kata dia, adalah penyusupan limbah yang mengandung zat berbahaya di dalam impor yang dilakukan pabrik-pabrik kertas.

Suyoto menengarai, terdapat sejumlah perusahaan yang memainkan impor sampah dengan tujuan mengeruk keuntungan yang berlipat ganda tanpa memikirkan efek lingkungannya.

Mengacu catatan yang dimiliki Ecoton, ditemukan sejumlah fakta sampah plastik yang berada di dalam kertas bekas impor milik PT Pindo Deli 3. Adapun fakta yang terangkum antara lain PT Pindo Deli membutuhkan 10.800 ton per tahun pulp impor dengan tipe mixed paper, seperti kardus, koran, majalah, dan kertas bekas.

Kemudian, kertas mixed paper sebesar 10.800 ton tersebut menghasilkan 11,11 persen sampah plastik per bulan. Sampah plastik itu dijual kepada masyarakat dengan dalih daur ulang.

Sementara itu, hanya 30-60 persen sampah plastik yang dapat didaur ulang. Sisanya dibakar dan berceceran di tengah permukiman warga dan sepanjang bantaran Sungai Cibeet.

Berdasarkan data tersebut, sebesar 10-15 persen sampah plastik impor diduga mencemari daerah aliran sungai (DAS) Cibeet, Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

Menurut Suyoto, perlakuan tersebut terjadi karena mendatangkan sampah impor memiliki keuntungan ganda bagi perusahaan yang menjalankan importasi. “Sampah impor ini dari negara asalnya dibiayai lho transportasinya. Sampah di dalam negeri, dijual sama mereka, dapat keuntungan lagi berarti kan? Tapi limbah yang nggak terpakai dibiarkan begitu saja,” kata Bagong Suyoto, Ahad (16/6).

Hal itu berdasarkan informasi yang diperolehnya, kerap terjadi ceceran sampah impor di sejumlah daerah. Berdasarkan catatan Ecoton, terdapat fakta sampah plastik impor yang ditemukan di Karawang antara lain ditemukannya uang dolar, jenis sampah dari kemasan plastik, kaleng minuman ringan, limbah medis, logam, hingga penjualan sampah kepada pengepul dengan kisaran harga antara Rp 600 ribu hingga Rp 1 juta per truk.

Namun, dari 10.800 ton per tahun bahan baku pulp impor yang harusnya disimpan di dalam gudang, hal itu justru dibiarkan terbuka di PT Pindo Deli 3.

Dia menyebut, kejadian baru-baru ini di Batam di mana terdapat 65 kontainer sampah juga diduga berisi limbah B3. “Kejadian-kejadian seperti ini juga terjadi di wilayah lain, inilah yang kita minta ke pemerintah, kita harus bersikap dan suarakan,” kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement