Selasa 18 Jun 2019 06:06 WIB

Transformasi Diri

Idul Fitri dapat dipahami sebagai transformasi besar,

Idul Fitri Ilustrasi
Foto: Republika/Wihdan
Idul Fitri Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ilyas Ismail

Idul Fitri dapat dipahami sebagai transformasi besar, yaitu transformasi diri menjadi manusia yang sejati (manusia takwa) setelah ibadah puasa selama sebulan dilakoni dengan penuh kesungguhan. Transformasi diri menjadi sangat penting karena ia merupakan prasyarat (prerequisite) terjadinya transformasi lingkungan yang harus diwujudkan pasca-Ramadhan.

Transformasi diri dilakukan dengan kembali ke fitrah (fithrah), yaitu watak dasar manusia yang awal-mula, yaitu bersih dan cenderung pada kebenaran dan kebaikan. Fitrah dipahami oleh para ulama sebagai tauhid, yakni komitmen manusia untuk menuhankan Allah dan menyembah hanya kepada-Nya. Itulah jati diri manusia menurut asal penciptaannya. Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, yaitu fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS al-Rum [30]: 30).

Fitrah seperti ditunjuk ayat di atas mengandung dua makna menurut ulama besar dunia, syekh Islam, Ibnu Taimiyah. Pertama, fitrah majbulah, yaitu kecenderungan dasar manusia untuk beriman kepada Allah dan pemihakannya pada nilai-nilai kemuliaan unisversal yang diterima secara taken for granted sejak manusia terlahir ke alam ini.

Kedua, fitrah munazzalah, yaitu ajaran agama yang diturunkan dari langit dan dibawa oleh para Nabi dan Rasul Rasul Allah sepanjang sejarah. Fitrah yang kedua ini bukanlah hal yang lain dari fitrah yang pertama, mengajarkan manusia agar menuhankan Allah, dan menyembah hanya kepada-Nya, sesuai dengan janji primordialnya (QS al-A`raf [7]: 72), serta menyuruh manusia agar menjunjung tinggi keluhuran budi pekerti, seperti kejujuran, keadilan, dan kasih sayang kepada manusia dan kemanusiaan sejagat.

Transformasi diri yang tak lain merupakan proses kembali ke jati diri ini menjadi penting karena manusia dalam perjalanan hidupnya di alam ini ternyata banyak yang menyimpang dan menjauh dari kodrat atau fitrahnya karena tiga sebab. Pertama, tergoda oleh kesenangan sesaat yang membuatnya berpikir pragmatis dan bertindak hedonistis.

Kedua, teperdaya dan takluk pada trio idolatry yang disembah dan dipuja-puja oleh manusia selain Allah, yaitu takhta, harta, dan wanita. Ketiga, konstruksi jiwa (kalbu)-nya bertolak belakang dengan sumber hidayah sehingga meskipun diingatkan pagi dan sore, mereka tetap membangkang alias tidak mau kembali. (QS al-Baqarah [2]: 6).

Untuk suksesnya transformasi diri ini, kita membutuhkan penguatan dalam tiga hal. Pertama, penguatan spiritual yang bertumpu pada kekuatan iman, ibadah, dan kesucian diri. Kedua, penguatan moral yang bertumpu pada kehendak dan komitmen untuk berbuat baik kepada sesama manusia, yang dalam bahasa agama dinamakan silaturahim.

Ketiga, kekuatan sinergitas yang akan membuat manusia tak hanya mampu melakukan transformasi diri, tetapi sekaligus transformasi sosial sehingga kepadanya layak dan pantas diberikan ucapan selamat: Minal 'aidin wal faizin, kullu 'am wa antum bi khair. Wallahu a'lam. 

sumber : Islam Digest Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement