REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejak masa lampau kepedulian terhadap bencana gempa bumi sudah dilakukan oleh para tokoh agama dan masyarakat.
"Ilmuwan menggali ilmu untuk mencari tahu jalan penyelamatan ketika gempa, para ulama juga ikut memberi andil dalam penyelamatan jiwa warga dengan semangat agama," kata Peneliti dari Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, Manajemen Organisasi, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Fakhriati, saat berbincang dengan Republika.co.id di Jakarta, Selasa (18/6). .
Dia menerangkan, gempa bumi dimaknai juga sesuai dengan ajaran tradisi masyarakat setempat. Misalnya dimaknai sebagai peringatan, kutukan atau dihubungkan dengan folklor masyarakat setempat.
Sebagai umat beragama, kata dia, masyarakat Indonesia juga terbiasa memaknai gempa sebagai peringatan Tuhan dan pesan moral kepada manusia. Supaya manusia melihat kembali hubungannya dengan Tuhan, sesama makhluk dan lingkungannya.
Menurut Fakhirati, mereka memaknai gempa dalam kehidupan dan lingkungan mereka. Ajaran, petuah dan ungkapan mereka telah dituangkan dalam tulisan yang sekarang sudah menjadi manuskrip.
"Ungkapan manuskrip kemudian diharapkan dapat diadopsi generasi sekarang, karena mereka tidak bisa lepas dari sejarahnya, agar keselamatan hidup dapat diraih," ujarnya.
Dia menyebutkan, Puslitbang LKKMO Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI memiliki fokus kajian terhadap manuskrip. Pada tahun 2017 mengambil topik kajian tentang bencana alam, khusus gempa bumi yang terfokus pada Aceh dan Jawa Tengah. Kajian dilakukan bersama UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan IAIN Surakarta.
Menurut Fakhriati, naskah atau manuskrip masa lampau menginformasikan banyak hal yang bermanfaat untuk diambil ibrah dan hikmahnya dalam mencegah serta menghadapi gempa bumi. Kearifan lokal yang khas dan unik diungkapkan di dalam manuskrip.
Dia mengungkapkan sebanyak 30 manuskrip dari Aceh ditemukan menceritakan tentang takwil gempa bumi dan penanganannya supaya tidak terulang lagi. Gempa yang terjadi dilihat dari sisi bulan, hari dan waktu. Kemudian diuraikan secara detail dan ditakwilkan akibat positif dan
Ilustrasi pembangunan rumah hunian sementara untuk korban gempa di Lombok.
yang akan dialami masyarakat setempat.
"Seterusnya diberikan cara penanganannya agar tidak terulang pada gempa berikutnya. Contoh dalam naskah RFC/TG/BNA/2017, disebutkan apabila terjadi gempa pada Bulan Safar, waktu Isya, maka akan terjadi turun keberkahan, setiap insan diwajibkan memberi sedekah," terangnya.
Dia menerangkan, bila dilihat dalam tradisi masyarakat Aceh, sampai sekarang mereka melaksanakan kenduri untuk Rabu Abeh (Rabu terakhir pada Safar). Masyarakat disarankan mandi, membersihkan diri, banyak bersedakah dan berbuat amal soleh agar terjauh dari bencana.
Di tanah Jawa, kata Fakhriati, manuskrip menampilkan ramalan gempa dan penanganannya sesuai dengan kondisi lokalnya. Rekaman sejarah bencana alam dalam hal ini gempa bumi ditemukan dalam teks-teks primbon, kumpulan doa dan mujaraba. Sebagian kecil lagi berada pada teks babad.
"Dalam Serat Primbon Koleksi Keraton Kasultanan Yogyakarta nomor D6/M269/Bh 139, disebutkan bahwa gempa yang terjadi pada Sura siang hari, pertanda tidak baik karena banyak orang prihatin," ujarnya.
Dia melanjutkan, bila gempa bumi terjadi pada malam hari, pertanda orang menjadi pailit. Akibatnya beras atau padi menjadi mahal. Maka penanganannya dengan cara mengadakan selamatan berupa menyajikan nasi uduk kepada masyarakat setempat dengan membaca doa agar diberi keselamatan.
Gempa. Ilustrasi
Selain itu, ungkap Fakhriati, masih banyak naskah lain yang berbicara tentang ta’bir gempa bumi serta penanganannya secara sosial dan agama. Persoalan bencana alam seperti gempa sangat terkait dengan kehidupan antara manusia, alam dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketika hubungan baik terjadi, maka harmonisasi juga akan muncul dengan sendirinya.
"Menjaga alam dan sesama makhluk adalah kewajiban, dan mendekatkan diri kepada Tuhan akan berimplikasi kepada kehidupan sosial yang baik dan lingkungan sekitar yang baik," terangnya.
Dia menambahkan, kultur lokal sudah mengajari umatnya untuk hidup seimbang di antara sesama. Juga mengajari untuk menjaga ekosistem dan selalu dekat dengan Rabb-nya. Sehingga diharapkan bencana alam dapat diminimalisir.