REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Meluasnya wilayah perkotaan dan perkebunan mendesak lahan hutan dan sumber daya di Asia-Pasifik. Hal ini juga merugikan komunitas pedesaan serta memperburuk efek perubahan iklim.
Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengatakan wilayah Asia Pasifik memiliki luas hutan per kapita terendah di dunia sebesar 19 persen dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 32 persen, bahkan ketika total luas hutan meningkat hampir 18 juta hektar (44 juta hektar) antara 1990 dan 2015.
Sementara itu, beberapa negara Asia telah memperkenalkan kebijakan untuk melestarikan hutan dan memberikan lebih banyak hak kepada masyarakat adat, area hutan tanaman hampir dua kali lipat, area hutan tanaman hampir dua kali lipat antara 1990 dan 2015 dengan mengorbankan hutan primer yang lebih kritis.
Asisten Direktur Jenderal dan Perwakilan Regional FAO di Bangkok, Kundhavi Kadiresan mengungkapkan kekhawatirannya tentang kurangnya kualitas hutan di wilayahnya.
“Sayangnya, konservasi hutan di satu negara seringkali hanya menggesar deforestasi ke yang lain,” kata Kadiresan, seperti yang dilansir Malay Mail, Selasa (18/6).
Hutan telah diakui sebagai kunci mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun, meningkatnya populasi dan permintaan mineral, serta sumber daya lainnya memberi tekanan lebih besar pada hutan. Pemerintah mengendalikan lebih dari dua pertiga area hutan global yang sebagian besar diklaim masyarakat lokal.
Ini menyebabkan konflik yang lebih besar mengadu domba petani kecil dan penduduk desa dengan pemerintah serta industri. Permintaan global akan komoditas seperti karet dan kelapa sawit telah mendorong perubahan dalam penggunaan laha, terutama di negara seperti Indonesia dan Papua Nugini.
Pemerintah dua negara tersebut telah memberikan bisnis sewa dan konsesi lahan untuk meningkatkan ekonomi mereka. Luas hutan tanaman, yang termasuk perkebunan, hampir dua kali lipat wilayah ini antara tahun 1990 dan 2015, serta merupakan 17 pesren dari total luas hutan, dibandingkan dengan rata-rata global tujuh persen.
Sementara itu, area yang diperuntukkan bagi atau dimiliki masyarakat adat dan komunitas lokal tumbuh sekitar 17 juta hektar antara 2002 dan 2017.
“Namun demikian, konflik terkait dengan kawasan lindung, perampasan tanah, kepemilikan, dan pembagian manfaat, lazim di wilayah ini dan dapat diperburuk oleh perubahan iklim,” ujar Kadiresan.
Teknologi canggih seperti citra satelit, penginderaan jauh, kecerdasan buatan, dan robotika membantu pemerintah meningkatkan pemantauan serta pengelolaan hutan, dan melindungi masyarakat pedesaan. Undang-Undang Hak Hutan India, Program Kehutanan Sosial Indonesia dan Konsesi Lahan Sosial Kamboja adalah contoh dari undang-undang yang telah mencoba mengembalikan hak kepada masyarakat.
Direktur Eksekutif kelompok advokasi The Center for People and Forests (RECOFTC) David Ganz mengatakan pemerintah telah mengakui peran orang dalam lanskap hutan dan beberapa telah menerima masyarakat sipil yang lebih kuat dan berbasis masyarakat.
“Tetapi banyak orang lain memperketat pengawasan mereka. Ini menipiskan perlindungan sosial dan lingkungan, serta dapat mengubah bentang alam hutan tanpa bisa diperbaiki lagi,” kata Ganz.