Rabu 19 Jun 2019 09:24 WIB

Harga Pungutan Sampah Domestik Anjlok 60 Persen

Masuknya sampah impor menyengsarakan hidup pemulung.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Petugas Bea dan Cukai Batam memeriksa salah satu dari 65 kontainer yang berisi sampah plastik yang diduga mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (15/6/2019).
Foto: Antara/Andaru
Petugas Bea dan Cukai Batam memeriksa salah satu dari 65 kontainer yang berisi sampah plastik yang diduga mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (15/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak Cina menerapkan kebijakan penyetopan impor sampah secara keseluruhan, negara-negara berkembang termasuk Indonesia menjadi tujuan utama sampah impor asal negara-negara maju. Hal ini selain berdampak pada lingkungan, juga berimbas pada anjloknya harga pungutan sampah domestik. 

Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNAS) Bagong Suyoto mengatakan, terdapat puluhan ribu pemulung yang menggantungkan hidup dari sampah domestik terancam hidupnya. Hal itu disebabkan adanya gudang-gudang dan pabrik-pabrik daur ulang semakin banyak ikut mengelola sampah impor, terutama di wilayah Cakung dan Kapuk. 

Baca Juga

"Harga-harga pungutan sampah domestik jatuh drastis hingga 60 persen," kata Suyoto dalam keterangan pers, Rabu (19/6). 

Dia menjelaskan, kondisi tersebut menggambarkan kerugian pendapatan pemulung dari sebelumnya Rp 6.000-Rp 7.000 per hari, menjadi Rp 2.500-Rp 3.500 per hari pada 1993-an. Dengan adanya kebijakan penyetopan dari Cina, dia memprediksi pendapatan pemulung akan terus merosot. Masuknya sampah impor, kata dia, telah menyengsarakan hidup pemulung. 

Lebih lanjut dia menjelaskan, pada dekade 2000-an, arus impor sampah alias pembuangan sampah negara maju ke negara berkembang terus meningkat tajam berbarengan dengan tumbuhnya pabrik-pabrik daur ulang di Pulau Sumatera, Jawa, dan wilayah lainnya. Adapun daur ulang sampah impor tumbuh semakin pesat di wilayah Jawa meliputi Banten, Bogor, Bekasi, Karawang, Indramayu, Cirebon, hingga Mojokerto Jawa Timur. Hal tersebut terjadi salah satunya diperkuat dengan alasan penyediaan bahan baku.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), pada November 2018 kebutuhan bahan baku industri nasional diketahui sekitar 5,6 juta ton per tahun. Hal itu dipenuhi antara lain plastik virgin sekitar 2,3 juta ton, impor 1,67 juta ton, dan dari bahan baku scrap plastik domestik sekitar 1,1 juta ton. Sehingga kekurangan bahan baku scrap sekitar 600 ribu ton per tahun. Kekurangan scrap plastik, mengacu catatan tersebut, selama ini dipenuhi melalui impor rata-rata 110.750 ton per tahun. 

Dengan dorongan alasan tersebut, dia menjelaskan, jika sampah dapat dimanfaatkan dan dioptimalkan sebagai bahan baku daur ulang,  semestinya negara maju tidak membuang sampah-sampah tersebut ke negara-negara berkembang. Apalagi, kata dia, negara-negara Eropa seperti Jerman, Austria, Inggris, Belanda, sudah berhasil menerapkan kebijakan the modern circular economy

"Contohnya, Jerman telah mengeluarkan Circular Economy Act (KrWG) pada Juni 2012. Prinsip-prinsip intinya meliputi the polluter-pays principple, the five-tier waste hierarchy, dan the principple of shared public," kata dia. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement