REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu menceritakan pengalamannya sebagai pelaksana Undang-Undang (UU) No. 19/2003 tentang BUMN. Ia mengisahkan soal penafsiran kategori "pejabat" pada BUMN.
Menurut Said, UU BUMN lahir pada 2003. Kemudian, UU tersebut mulai dilaksanakan dua tahun setelahnya. Pada 2006, pihaknya mulai menghadapi pilihan karena di UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) muncul istilah pejabat BUMN. Padahal, Said menyebutkan, di UU BUMN tidak terdapat istilah "pejabat".
"Kita selalu dihadapkan yang mana pejabat BUMN karena tak ada istilah hukum apapun," jelas Said saat bersaksi di hadapan majelis hakim di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Rabu (19/6)
Ketika masih menjabat sebagai Sekretaris Kementerian BUMN, Said melakukan komunikasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komunikasi itu terkait dengan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) bagi pejabat BUMN.
Dengan adanya ketidakpastian dalan istilah "pejabat" dalam UU BUMN dan UU Tipikor, maka Said selaku pelaksana menafsirkan, jabatan yang masuk kategori "pejabat" di BUMN adalah direksi, dewan pengawas dan komisaris. Sejak 2006, seluruh pejabat BUMN ia sebut berkewajiban melaporkan LHKPN.
"Direksi, dewan pengawas dan komisaris dimasukkan dalam kelompok pejabat BUMN," kata dia.
Sebelumnya kubu 02 mempersoalkan status cawapres Kiai Ma'ruf Amin di dua bank syariah. Kubu 02 menilai dua bank itu merupakan BUMN. Sebaliknya kubu 01 dan KPU menolak penafsiran tersebut karena dua bank itu hanya anak perusahaan dan tak ada penyertaan modal langsung dari negara. Selain itu, jabatan Ma'ruf Amin juga hanya dewan pengawas.