REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — ICW tak sependapat dengan usulan baru Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ( Pansel Capim KPK) yang memasukkan syarat antiradikalisme dalam proses seleksinya. Karena, ICW menilai, fungsi utama dibentuknya KPK sebagai perlawanan terhadap tindak pidana korupsi bukan radikalisme.
“ICW mengingatkan kepada pansel agar jangan terjebak hoaks radikalisme, yang harus diperhatikan secara serius oleh pansel adalah memastikan integritas serta rekam jejak dari para pendaftar calon pimpinan KPK,” kata anggota ICW, Kurnia Ramadhana kepada Republika, Kamis (20/6).
Sungguh sangat disesalkan, ujar Kurnia, bahwa dalam beberapa waktu belakangan narasi yang kerap dilontarkan oleh Pansel Capim KPK 2019-2023 justru kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi. Pansel Capim KPK memasukan syarat antiradikalisme untuk proses seleksi capim KPK 2019-2023.
“Ini terkonfirmasi ketika pansel turut menggandeng BNPT, ditambah lagi dengan menaikkan isu radikalisme secara terus-menerus dalam proses penjaringan pimpinan KPK,” kata dia.
Pernyataan pansel itu pun sambungnya, seakan mengkonfirmasi keraguan publik selama ini terhadap komposisi pansel yang telah dibentuk oleh Presiden. Mereka ungkap Kurnia lagi, sangat terlihat ketidakpahaman mereka bahwa tugas utama KPK adalah memberantas korupsi bukan terorisme.
“Sangat terlihat bahwa mereka tidak memahami bahwa tugas KPK pada dasarnya adalah memberantas korupsi, bukan teroris,” tegas dia
Lagi pula, pernyataan seperti itu, menurut Kurnia, seolah menunjukkan adanya ketakutan berlebih tanpa adanya fakta dan data yang dapat dikonfirmasi serta dipertanggungjawabkan. Sangat disayangkan jika pansel justru mempercayai hoaks tersebut.
“Untuk itu maka sebenarnya isu penting yang harus diperhatikan secara serius oleh Pansel adalah memastikan integritas serta rekam jejak dari para pendaftar calon Pimpinan KPK,” tegasnya lagi.
Ketua Pansel Capim KPK, Yenti Ganarsih, sebelumnya mengatakan, persyaratan antiradikalisme merupakan murni masukan dari seluruh anggota Pansel KPK. Menurutnya, semua anggota telah setuju bahwa persyaratan ini penting diterapkan agar siapa pun komisioner yang ada di tubuh KPK tidak terpapar paham radikal.
"Ini masalah lama yang memang ada di Indonesia, dan kita harus menjaga keutuhan NKRI, Bhineka Tunggal Ika. Jangan sampai ada yang mengganggu keutuhan itu," kata Yenti di Universitas Parahyangan, Kota Bandung, Rabu (19/6).
Selain itu, kata dia, pihaknya sudah bertemu dengan komisioner KPK untuk memastikan bahwa apa yang selama ini ramai di media massa tidak seluruhnya benar. "Kami berjaga-jaga dan berusaha agar tidak ada orang yang terpapar paham itu (radikalisme) jadi komisioner KPK. Dari 260 juta orang di Indonesia masak tidak ada lima orang yang baik. Kan kita hanya butuh lima saja," kata dia.