REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua DPRD Kota Surabaya Armudji diperiksa penyidik kejaksaan selama 6 jam terkait dengan dugaan kasus korupsi aset Pemkot Surabaya yang dikuasai Yayasan Kas Pembangunan (YKP) dan PT YEKAPE di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Kamis (20/6).
Armudji mengaku dicecar 20 pertanyaan. Politikus PDI Perjuangan ini diperiksa karena pernah menerima surat keputusan (SK) kepengurusan di Yayasan Kas Pembangunan (YKP) pada tahun 2002.
"Saya pernah menerima SK kalau tidak salah pada tahun 2002. Akan tetapi, saya tidak pernah mengurusi YKP. Mereka yang mengambil atau yang ditetapkan kembali menjadi pengurus YKP dengan SK kalau tidak salah pada tahun 2001. Itulah kronologi yang saya tahu, sepengetahuan saya ceritakan kepada penyidik," katanya.
Armudji menceritakan jika modal awal adanya YKP berawal dari Pemkot Surabaya, termasuk tanah-tanah berstatus hak pengelolaan lahan (HPL). Saat ditanya mengenai hasil Pansus Hak Angket yang pernah digulirkan oleh DPRD Kota Surabaya pada tahun 2012, dia mengatakan bahwa pada saat itu pansus sudah menghasilkan rekomendasi.
"Rekomendasinya adalah meminta Pemkot supaya mengambil alih aset-aset yang ada di YKP. Rekomendasinya sampai saat ini masih ada," katanya.
Apakah rekomendasi itu terlaksana? Armudji menjelaskan bahwa tidak pernah terlaksana. Kantor Satpol PP malah digugat oleh YKP.
"Belum pernah terlaksana (rekomendasi). Justru pemkot digugat YKP, Kantor Satpol PP itu. Pernah ribut itu. Rekam jejak di media bisa dilihat waktu itu digugat sama PT YEKAPE," katanya.
Kasus korupsi YKP sebelumnya pernah beberapa kali mencuat. Bahkan, pada tahun 2012 DPRD Kota Surabaya pernah membentuk pansus dengan memanggil semua pihak ke DPRD.
Pada saat itu Pansus Hak Angket memberikan rekomendasi agar YKP dan PT YEKAPE diserahkan ke Pemkot Surabaya karena memang keduanya adalah aset pemkot. Namun, pengurus YKP menolak menyerahkannya.
Yayasan Kas Pembangunan (YKP) dibentuk oleh Pemkot Surabaya pada tahun 1951. Seluruh modal dan aset awal berupa tanah sebanyak 3.048 persil tanah berasal dari pemkot, yaitu tanah negara bekas eigendom verponding. Bukti YKP itu milik pemkot sejak pendirian Ketua YKP selalu dijabat rangkap oleh Wali Kota Surabaya (saat itu) Sunarto.
Padahal, saat itu ada ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah bahwa kepala daerah tidak boleh rangkap jabatan. Akhirnya, pada tahun 2000 Wali Kota Sunarto mengundurkan diri dan menunjuk Sekda Yasin sebagai ketua.
Namun, tiba-tiba pada tahun 2002, Wali Kota Sunarto menunjuk dirinya lagi dan sembilan pengurus baru memimpin YKP. Sejak saat itu pengurus baru itu diduga mengubah AD/ART dan secara melawan hukum memisahkan diri dari pemkot.
Hingga 2007, YKP masih setor ke Kas Daerah Pemkot Surabaya. Namun, setelah itu YKP dan PT YEKAPE yang dibentuk YKP berjalan seolah diprivatisasi oleh pengurus hingga asetnya saat ini berkembang mencapai triliunan rupiah.