REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan bersama Komisi VII DPR RI untuk besaran subsidi solar sebesar Rp 1.500 per liter. Keputusan ini diambil dalam rapat pagu indikatif Kementerian ESDM, Kamis (21/6).
Semula, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengusulkan besaran subsidi untuk solar dipatok sebesar Rp 2.000 per liter. Usulan Jonan ini diambil dengan pertimbangan pada tahun berjalan 2019 pemerintah memang memberikan besaran subsidi Rp 2.000 per liter agar Pertamina tidak terlalu berat dalam mendistribusikan BBM bersubsidi ini.
"Kami mengusulkan untuk besaran subsidi untuk solar Rp 2.000 per liter," ujar Jonan di DPR, Kamis malam.
Namun, Ketua Komisi VII DPR RI, Gus Irawan Pasaribu menilai besaran ini perlu dipangkas, agar bisa dialokasikan untuk sektor lain. "Rapat mensepakati biaya subsidi solar batas atas maksimal Rp 1.500 per liter," ujar Gus Irawan saat memimpin rapat.
Gus Irawan menilai pengurangan biaya subsidi solar tahun depan memang perlu dilakukan. Sebab dia melihat masih ada masyarakat yang mampu seperti memiliki mobil Pajero Sport tapi masih membeli solar subsidi.
Sedangkan pengalihan Rp 500 tersebut menurut Komisi VII DPR RI akan dialokasi ke produk subsidi lainnya. Salah satu yang diusul adalah penambahan LPG 3 kg menjadi 7 juta metrik ton dari sebelumnya diusulkan Jonan 6,97 juta ton.
Selain itu, instrumen lain yang disepakati Komisi VII DPR dalam kesimpulan rapat adalah asumsi minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) 60 dolar AS per barel, lifting migas 1.893 juta boepd dengan rincian minyak 734 bopd dan gas bumi 1.159 juta boepd.
Selain itu, volume BBM subsidi 15,87 juta KL dengan rincian solar 15,31 juta KL, dan minyak tanah 0,56 juta KL. Lalu, subsidi listrik turun menjadi Rp 58,62 triliun. Secara keseluruhan, Komisi VII menyetujui besaran pagu indikatif yang diajukan Jonan tahun depan Rp 9,66 triliun. Angka ini naik dari anggaran tahun ini, Rp 4,9 triliun.