REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Nasiruddin
Islam, sebagai ajaran lengkap untuk hidup manusia di dunia ini, mengakui dan mengesahkan kepemilikan perseorangan. Tetapi, kepemilikan yang berarti penguasaan atas keuntungan dan kemanfaatan sesuatu itu perlu diberi batas tegas karena selalu berkaitan dengan hajat dan kepentingan orang lain serta umum agar tak ada monopoli.
Pembatasan kepemilikan perseorangan dan bahkan kalau perlu pembatalannya bisa didasarkan pada riwayat yang pernah diperankan Nabi Muhammad saw selaku kepala negara, penyelenggara kekuasaan saat itu. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, nabi saw memberikan batas yang cukup tegas atas kepemilikan perseorangan itu meskipun tidak kuantitatif jumlahnya.
Dikisahkan Samurah bin Djundud mempunyai pohon kurma yang tumbuh di sepetak kebun milik seorang Ansar. Samurah dan anak-anaknya sering sekali mendatangi pohon itu tentu dengan memasuki dan menginjak-injak kebun si Ansar. Hal ini merugikan pihak pemilik kebun karena aneka tanamannya mati.
Maka, sahabat Ansar ini pun mengadukan halnya kepada Rasulullah saw.
''Samurah, jual sajalah pohon kurmamu itu,'' perintah Rasulullah.
''Tidak, saya tak akan menjualnya,'' jawab Samurah bin Djundud.
''Kalau begitu hibahkan saja pohon itu dan sebagai gantinya kamu mendapatkan surga,'' lanjut Rasulullah kemudian.
Anjuran itu kembali ditolak Samurah.
Maka, Rasulullah saw kemudian berkata, ''Cabutlah pohon itu!''
Masih juga Samurah menolaknya. Samurah merasa bahwa Rasulullah sekadar memberi anjuran, bukan perintah ataupun keputusan.
''Engkau benar-benar merusak, wahai Samurah!'' sabda Rasulullah selanjutnya, kemudian Rasulullah saw berpaling kepada si Ansar dan perintahnya, ''Pergilah untuk mencabut pohon kurma Samurah!''
Kentara benar dari riwayat di atas bahwa selain ada contoh bagaimana Nabi Muhammad melakukan pendekatan ke pokok permasalahan secara gradual.
Demikian pula, ada ketegasan bahwa hak milik seseorang bisa dibatalkan oleh kekuasaan negara jika terbukti kepemilikan itu merusak kepentingan tetangganya, lebih-lebih kepentingan umum.
Pembatasan kepemilikan ataupun pembatalannya di zaman yang serba teratur seperti sekarang ini, selain dengan pertimbangan kearifan yang kontekstual juga harus ditegakkan lewat peraturan dan perundang-undangan yang benar.
Sebenarnya sebagai manusia, kepemilikan kita akan harta benda hanya secara de facto, yang bersifat sementara dan bergantung. Sebab, secara hakiki dan de jure kepemilikan segala harta benda itu ada pada Allah SWT sehingga Dialah yang berhak mengaturnya (QS 33:24).
Dengan demikian, pembatasan dan pembatalan kepemilikan perseorangan itu tiada lain kecuali semata-mata untuk meluruskan kembali arah dan hakikat kepemilikan tersebut. Kita manusia hanyalah hamba yang menerima amanat dari-Nya sehingga menjadi kewajiban kita untuk mendayagunakan segala sesuatu yang kita miliki secara de facto. Hal ini demi kepentingan hidup kita yang lebih hakiki, yakni dalam kerangka pengabdian diri kepada Allah SWT. Wallahu a'lam bis-shawab.