Jumat 21 Jun 2019 21:30 WIB

Budayawan: Tradisi Pacu Kuda Alami Pergeseran Cara Pandang

Budayawan Minang menilai pacu kuda dulu menjadi perekat kekerabatan dan silaturrahim.

Sejumlah kuda memasuki garis finish pada Lomba Pacuan Kuda Tradisional Gayo di lapangan Haji Muhammad Hasan Gayo Belang Bebangka
Foto: Antara/Rahmad
Sejumlah kuda memasuki garis finish pada Lomba Pacuan Kuda Tradisional Gayo di lapangan Haji Muhammad Hasan Gayo Belang Bebangka

REPUBLIKA.CO.ID, PAYAKUMBUH -- Perhelatan Pacu Kuda yang menjadi tradisi orang Minang masih rutin digelar di wilayah masyarakat adat Minangkabau (Luak Agam, Limapuluh Kota, Tanah Datar) hingga kini. Namun, menurut budayawan Minang Yulfian Azrial, seiring berjalan waktu perhelatannya mengalami pergeseran cara pandang.

"Dulu yang menonjol itu adalah kekerabatan persahabatan dan silaturahim tetapi kalau sekarang orang cenderung menilai sesuatu dari segi materialnya, maka ini yang menjadi motivasi orang untuk menggelar alek Pacu Kuda sehingga faktor silaturahimnya terkesampingkan," kata Yulfian Azrial di Payakumbuh, Jumat (21/6).

Pacu kuda dulu menjadi event perekat kekerabatan dan silaturrahmi antar wilayah masyarakat adat Minang atau wilayah darek (darat) begitu juga dari daerah rantau sesama masyarakat Minang.

Ia mengatakan perhelatan pacu kuda sendiri berbeda dengan alek nagari lainnya, alek nagari biasanya hanya salingka nagari dalam satu wilayah adat terkecil tapi alek pacu kuda melibatkan seluruh dari nagari.

"Jika diadakan di Luak Limapuluh maka masyarakat Minang dari Luak Tanah Datar dan Agam berdatangan ke Luak Limapuluh sehingga terjadi interaksi silaturrahmi antar masyarakat pada tingkat Luak," ujarnya.

Dulu Pacu Kuda diadakan sekali dalam setahun setelah musim panen yang dilakukan secara serentak.

"Selain silaturrahmi inilah momennya masyarakat setelah panen menggelar perhelatan Pacu Kuda untuk menikmati hasil panen itu dan sebagai wujud rasa syukur," jelas Budayawan yang tinggal di Payakumbuh tersebut.

Pacu Kuda ini juga salah satu cara orang Minang untuk memanfaatkan segala lini kehidupan untuk membangun peradaban.

"Tidak hanya pertanian saja namun memanfaatkan segala lini maka beternak kuda juga menjadi bagian tak terpisahkan yang juga dijadikan sebagai alat transportasi," kata pengarang edisi pertama buku Budaya Alam Minangkabau ini.

Kini pacu kuda yang sudah diakomodir menjadi agenda rutin pemerintah daerah di Sumbar ini adalah produk asli Minang.

"Jadi bukan dari Eropa karena budaya berkuda adalah budaya yang tumbuh berkembang yang sangat lama di Minang terutama faktor kuatnya agama Islam dimana berkuda adalah salah satu anjuran Sunah Rasulullah," katanya.

Hanya saja berkuda yang dikompetisikan yang menjadi alek nagari di Sumbar memang merupakan modifikasi dari Eropa.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement